Refleksi: Do We Desire God That Much?
Memasuki
dunia alumni dan dunia kerja itu tak selalu menyenangkan, apalagi ketika
sekeliling mulai sibuk membicarakan dan mengkuatirkan masalah masa depan.
Seiring dengan umur yang diramaikan oleh begitu banyak tuntutan. Pasangan
hidup, future wife, future husband. Sama seperti di kantor saya sekarang.
Mulailah banyak becandaan soal masalah pendamping hidup. Atau status-status
galau di social media mengenai pasangan hidup dan cinta, yang selalu menjadi
topik utama. Ah, saya lelah. Lelah melihat dan menyadari sekeliling saya yang
terlalu sibuk memikirkan cinta manusia.
Kadang
saya merenung seperti ini: apakah kita
mengingini pribadi Yesus seperti kita mengingini pasangan atau pendamping
hidup? Apakah kita mengingini cinta Yesus seperti kita mengingini cinta
manusia?
Terlalu
banyak orang yang ribut dan repot memikirkan masalah masa depannya saat ini: pasangan
hidupnya (future wife atau future husband), keluarga masa depan, cinta
manusiawi. Saya tidak menghakimi kalau itu salah, bagi orang-orang pada umumnya
itu memang sebuah kebutuhan. Tapi, harus diakui, banyak orang yang terlalu
banyak galau (dan kegalauannya tidak dibawa diserahkan ke hadapan Tuhan) dan
memikirkan "kebutuhan" (akan cinta manusiawi) itu, luput untuk
memikirkan sejauh sedalam dan sekuat apa cintanya pada Tuhan. Belum yakin kalau
cintanya pada Tuhan sudah teruji dalam tantangan hujan dan api. Lalu saya
tergelitik, lebih merefleksikan renungan ini ke diri sendiri dengan tidak
bermaksud ingin menghakiminorang lain: apakah wajar kita mengkuatirkan
percintaan manusiawi lebih dari mengkuatirkan keintiman personal kita dengan
Yesus? Apakah wajar untuk lebih mengejar dan memprioritaskan cinta kita kepada
manusia dibandingkan cinta kita kepada Tuhan?
Bukankah
Tuhan harus selalu menjadi yang pertama dan terutama?
Saya
berpikir, saya merasa guilty feeling sendiri. Saya sebenarnya bukan tipikal perempuan
muda yang kuatir akan pasangan hidup masa depan, atau bahkan dari masa kini.
Galau juga bukan pilihan bagi saya. Mungkin bagi saya, lebih banyak hal yang
butuh diurus dan diprioritaskan saat ini, dibandingkan hal itu. Bukan berarti
acuh tak acuh juga mengenai masalah pasangan hidup itu, tapi setidaknya
sekarang ini mendoakan dengan setia sudah cukup bagi saya. Toh saya masih muda,
masih terlalu banyak yang harus dipersiapkan dan dimatangkan. Hanya saja, saya
guilty feeling ketika berefleksi, kenapa sebagai manusia, kita memiliki
kecenderungan untuk menomor-sekiankan Tuhan, seolah-olah Tuhan tak pantas
menjadi nomor satu dan yang terutama dalam hidup dan hati kita. Bukan hanya
soal pasangan hidup, tapi juga untuk terlalu banyak hal.
Saya
merenung, membayangkan betapa sedihnya hati Tuhan, ketika melihat kita lebih
mementingkan cinta kita pada seseorang yang istimewa itu, dibandingkan cinta
kita yang kita tujukan pada-Nya. Membayangkan betapa kecewanya Dia, ketika kita
betah dan memang mengingini intensitas kebersamaan yang sangat tinggi dan padat
dengan seseorang yang istimewa itu, dibandingkan intensitas berduaan dengan-Nya
dalam saat teduh dan doa. Membayangkan betapa hancur hati-Nya, ketika kita
bilang kita kacau-balau jika kehilangan cinta seseorang yang istimewa itu atau
jika hubungan kita dengan seseorang yang istimewa itu sedang tak bisa dibilang
baik, tapi sama sekali tenang-tenang saja ketika hubungan kita dengan Tuhan
berantakan atau cinta kita pada Tuhan benar-benar butuh dipertanyakan.
Then,
Do
you desire Jesus that much?
Do
you desire Jesus more than wife and husband?
Do
you desire the love of Jesus more than the love of your special someone?
Dan
setiap hari, pertanyaannya akan tetap sama saja. Apakah cintamu dan cintaku
pada Yesus melebihi cintamu pada manusia dan dunia?
P.S.
:
Untuk
melengkapi tulisan ini, saya harus mengakui saya sangat suka dan sangat
mengapresiasi tulisan seorang adik saya yang sama-sama bertumbuh di komunitas
yang sama di maker dan di PO FISIP UI. Saya sangat suka tulisanmu rut, karena
keberserahanmu yang penuh pada Tuhan dalam masa penantian mengenai masalah
pasangan hidup. Itu menyentuh. Akhirnya, Tuhan tetap menjadi yang pertama dan
terutama. Silahkan, mengunjungi :)
Hua. Kak Yuli :' Tertegur sekali dengan tulisan ini. Terimakasih kak :)
ReplyDeletethanks God hehe :")
Deleteterima kasih juga untuk tulisanmu ituu ruuut, touching :")