Langit dan Laut Biru Pulau Sulawesi
Aku
tidak ingat kapan pastinya mulai menyukai langit biru. Mungkin sejak SMP,
setelah pindah dari rumah warisan peninggalan almarhum kakek-nenek dari ayah,
ke rumah yang dibeli sendiri oleh kedua orang tuaku.
Rumah itu terletak di dalam sebuah kompleks, yang untuk mencapainya harus melalui sebuah jalan masuk dari jalan raya yang cukup panjang. Aku senang berjalan kaki sepulang sekolah melaluinya jika tidak dijemput, di kiri-kanan jalan masih terhampar tanah lapang. Di atasnya, langit biru menyambut. Luas, tenang, biru. Aku mulai menyukainya, mencintainya. Langit biru itu.
Kamarku yang terletak di lantai dua, juga memiliki jendela yang memotret langit biru dalam batas-batas ruangnya yang terbuat dari kayu. Di baliknya, ada teras luar lantai dua rumah. Darisanapun, aku suka duduk berlama-lama memandangi langit biru yang membentang di atasku. Sampai ketika SMA, aku masih senang duduk-duduk di teras luar lantai dua rumahku sambil melihati langit biru. Memandanginya sampai habis waktu. Mengambil foto. Karena, bosan tak pernah menghampiri. Kadang sendiri, kadang bersama sahabat-sahabatku jika berkunjung. Kami bahkan memanjat atap, demi senang-senang masa remaja, dan aku, juga demi langit biru.
Rumah itu terletak di dalam sebuah kompleks, yang untuk mencapainya harus melalui sebuah jalan masuk dari jalan raya yang cukup panjang. Aku senang berjalan kaki sepulang sekolah melaluinya jika tidak dijemput, di kiri-kanan jalan masih terhampar tanah lapang. Di atasnya, langit biru menyambut. Luas, tenang, biru. Aku mulai menyukainya, mencintainya. Langit biru itu.
Kamarku yang terletak di lantai dua, juga memiliki jendela yang memotret langit biru dalam batas-batas ruangnya yang terbuat dari kayu. Di baliknya, ada teras luar lantai dua rumah. Darisanapun, aku suka duduk berlama-lama memandangi langit biru yang membentang di atasku. Sampai ketika SMA, aku masih senang duduk-duduk di teras luar lantai dua rumahku sambil melihati langit biru. Memandanginya sampai habis waktu. Mengambil foto. Karena, bosan tak pernah menghampiri. Kadang sendiri, kadang bersama sahabat-sahabatku jika berkunjung. Kami bahkan memanjat atap, demi senang-senang masa remaja, dan aku, juga demi langit biru.
Setelah
pindah ke Depok demi melanjutkan studi, aku pikir aku kehilangan langit biruku.
Tapi ternyata tidak juga. Meski tak sebiru di medan, langit Kota Depok tetap
biru membentang. Menghibur. Apalagi pondok tempat aku tinggal kos, desainnya
seperti asrama dengan kamar-kamar yang langsung menyapa alam luar. Rumput hijau
dan langit biru.
Beberapa
minggu lalu, sekitar bulan akhir januari, aku mendapat anugerah untuk bisa
berkunjung ke Sulawesi Utara demi beberapa tugas, yang mungkin terlalu panjang
jika dibagikan disini. Tapi, sungguh aku belum pernah melihat paduan langit dan
laut yang sama-sama biru, sama-sama luas, sama-sama tenang, dan sama-sama
indah, seperti langit dan laut disana. Aku langsung jatuh hati. Apalagi masa
musim penghujan di kota depok dan jabodetabek membuatku tak bisa melihat langit
biru sama sekali akhir-akhir ini. Hanya langit mendung, gelap, berawan, kelabu,
yang sedih. Yang memadamkan semangat diri sendiri. Karenanya, ketika sampai di
pesisir Sulawesi Utara: aku terpana. Kagum dan tertegun, akan sebuah
pemandangan lukisan Yang Maha Agung. Sulawesi Utara, langit biru dan biru
lautmu, tak tertandingi. Sempurna di mataku.
Belum
lagi kunjungan dan wisata (juga) ke desa-desa di pesisirnya. Masyarakat yang
ramah, logat bicara yang menarik, masakan dan makanan yang pedas tapi memikat
lidah, ikan-ikan yang diolah segar langsung dari lautan yang biru, rumah-rumah
sederhana tapi aman dan nyaman, adik-adik yang cepat akrab dan banyak berbagi,
alam lalu pantai lalu karang yang keindahannya alami, belum terjamah kepalsuan
manusia. Pengalaman pertama terapung-apung dalam perahu kecil mirip sekoci kapal
Titanic di tengah laut malam-malam ketika ingin menyeberang ke pulau gangga,
karena mesin perahu tiba-tiba mati. Pengalaman pertama wisata hewan-tumbuhan
laut serba alami dipandu tanpa rencana oleh teman-teman mahasiswa kelautan
Universitas Samratulangi Manado. Pengalaman pertama sedikit merasakan uji nyali
seperti anak mapala, yang memanjat tebing berbatu di bibir laut, mendaki gunung
menanjak dan menembus hutan ketika pulang dari pantai, ikut panik karena
teman-teman setim tertusuk bulu babi (binatang laut berduri--red) ketika asik
berenang. Pengalaman pertama melihat langit malam penuh bintang kecil dan besar
di atas laut dan di atas kota Manado, yang tak akan pernah ada di jabodetabek
menurutku.
Degradasi Warna Biru: Indah |
Di Pantai Pulau Tanpa Penghuni |
Awan Putih dan Langit Biru Kota Tondano |
Terapung |
Di Pinggir Pantai Sebuah Pulau Di Tengah Lautan Sulawesi |
Sungguh.
Langit dan laut biru Pulau Sulawesi, benar-benar membuatku rindu untuk
berkunjung lagi. Suatu saat di momentum yang tepat, berharap pasti berkunjung
lagi.
p.s.
:
Perjalanan
mengunjungi Sulawesi Utara tidak lengkap tanpa mereka ini, terima kasih teman-teman
baru yang mengajarkan begitu banyak hal. Tim yang berangkat menemani aku dan Armel mengunjungi Desa
Tumbak (Kak Lexi, Angel, Vany, Vian, dan Kak Miro), Tim yang berangkat bersama-sama aku dan Kak Moren mengunjungi Pulau Gangga, di atas Sulawesi (Kak Kuts, Kak Abe, Kak Harlye, Kak Ungke, Kak Ogen, Angel, Linda, Chia, Tian, Dedi,
Ari, Tya, Kak Lia, dan Anas). Sambutan teman-teman baru dari Universitas Sam Ratulangi, yang begitu luar biasa (Kak Bobby,
David, Glenn, Joan, Rizky, dan semua yang mungkin tak bisa kusebut satu-satu
namanya disini). It's so blue and beatiful, i am thankful.
No comments: