NOT TAKEN FOR GRANTED

October 19, 2013

Orang-orang yang berani mengikuti passion, panggilan, dan mimpinya, sekalipun itu sangat berbeda dengan orang-orang kebanyakan di sekelilingnya, itu langka. Orang-orang yang berani untuk menjadi nonkonformis di antara konformitas yang pasti memberikan tekanan akan pilihan nonkonformis mereka. Orang-orang yang siap menanggung resiko, sebuah harga yang mahal, demi menjadi "hidup" tidak semata-mata mengikuti arus orang banyak---seperti perumpamaan: hanya ikan yang mati yang akan berenang mengikuti arus, ikan yang masih hidup akan terus bejuang berenang melawan arus, itulah yang menandakan dia hidup.

Photo by João Silas on Unsplash

Tetapi tak bisa disangkal, kebanyakan orang memang mengikuti arus. Karena mengikuti arus itu nyaman, dan melawan arus itu tak nyaman. Siapa yang tidak suka kenyamanan? Tapi orang-orang yang mengikuti passion, panggilan, dan mimpi mereka siap mengorbankan segala kenyamanan mereka demi menjadi "hidup" dalam passion, panggilan, dan mimpi mereka. Kebanyakan orang suka mengikuti arus, pasrah saja untuk taken for granted akan banyak hal di dalam hidup mereka, karena orang-orang terdekat atau orang-orang di sekeliling mereka juga menjalani hal yang sama. Kebanyakan orang tidak lagi mempertanyakan banyak hal sebelum menjalaninya. Bukan kurang kerjaan, atau terlalu mempersulit segala sesuatu yang tadinya mudah, alasannya hanya untuk menemukan esensi di balik segala sesuatu itu dan memilikinya. Itulah yang membuat kita "hidup" dalam mengerjakan segala sesuatu, bukan ikut arus, ikut mati.

Bersyukur belajar ilmu sosiologi selama tiga setengah tahunan, aku dilatih untuk bersikap kritis, berpikir beyond common sense, tidak mau taken for granted. Mempertanyakan segala sesuatu. Jujur saja, untuk mempertanyakan segala sesuatu itu saja tidak mudah, tidak nyaman. Tapi esensi yang didapatkan setelah pertanyaan itu diselesaikan, sangat berharga. Aku bersyukur.

Bagaimana dengan kalian? Apa jangan-jangan selama ini kalian menjalani banyak hal yang kelihatan penting dan wajar di muka bumi ini dengan taken for granted? Ikut arus?

Coba, pertanyakan sederet pertanyaan berikut kepada diri kalian sendiri sebelum mengakhiri membaca postingan blog ini. Semoga mendapat pencerahan setelah mempertanyakan ulang segala sesuatu :)

1. Kenapa kita harus sekolah? Jenjang dan waktu yang tidak pendek untuk ditempuh, biaya yang tidak murah, segala pengorbanan dan perjuangan yang tidak sedikit? Karena semua orang sekolah? Karena sekolah itu wajib? Karena mengejar "jadi pintar"? Terus bagaimana kalau kita pintar? Ukuran siapa kepintaran yang kita kejar?

2. Lalu setelah sekolah, ingin kerja, jadi apa? Mengejar pekerjaan-pekerjaan (atau jika berkuliah sebelumnya, memilih jurusan-jurusan) yang "dibutuhkan" market place, yang laku di pasaran, yang banyak peluangnya? Apa yang kita kejar? Uang? Sampai berapa banyak? Akhirnya pun ketika (jurusan atau) pekerjaan yang "laku keras" di market place itu didapatkan, tapi tidak sesuai dengan bakat atau keinginan terdalam hati kita, akankah kita tahan melakukan pekerjaan yang sama--setiap hari kerja--mungkin nyaris seumur hidup? Dari pagi sampai sore atau malam? Sanggup? Tidakkah ada kesia-siaan yang terlihat di dalam kesemuanya itu?

3. Lalu apakah kamu ingin menikah? Kenapa? Karena orang lain menikah? Karena kalau tidak menikah, takut jadi omongan dan gossip seperti lagu yang kurang bermutu secara moralitas yang sering dinyanyikan sembarangan itu? Kamu harus menikah meski menikahi orang yang salah? Yang akan tidur di sebelahmu mungkin seumur hidupmu setiap hari, makan semeja, tinggal serumah, mengurus anak dan keluarga, berbagi apapun bersama? Yang tidak akan membuatmu bahagia? Atau bahagia di awal tapi tidak sampai akhir? Sebuah keluarga atau pernikahan yang akhirnya mengenal kata "cerai" atau "pisah"?

4. Lalu setelah menikah, apakah kamu ingin memiliki anak? Karena semua orang yang menikah pasti memiliki anak-anak? Karena keluarga tanpa anak terasa kurang lengkap? Anak hanya sebagai pelengkap tak lain seperti perabotan rumah tangga, begitu? Ingin memiliki anak tanpa alasan yang jelas, dengan banyak pengorbanan, nyawa untuk sang ibu ketika mengandung-melahirkan, biaya dan waktu untuk membesarkan anak, kasih sayang yang harusnya dilimpahkan tanpa dibuat-buat? Sanggupkah? Apakah kita ingin memiliki anak tanpa peduli akan jadi seperti apa anak-anak itu nanti tanpa segala hal ideal yang mungkin tidak sanggup kita upayakan?

5. Dan, soal apa yang kita percayai. Kenapa kita menganut agama tertentu? Karena keluarga kita, orang tua kita juga menganut agama yang sama? Lalu kita takut menjadi berbeda? Percaya pada agama itu karena "ikut" arus orang tua, keluarga, atau orang-orang terdekat? Tanpa benar-benar mengenal Siapa Tuhan Yang Kita Sembah? Hanya menjalankan ibadah keagamaan masing-masing seperti ritual yang terus berulang?

6. Jika daftar ini mau diperpanjang, mungkin bisa mempertanyakan ulang hal-hal spesifik dalam kehidupan kita masing-masing, seperti kenapa harus tergabung ke organisasi atau komunitas tertentu? Kenapa harus ini itu dst. Hanya satu kesimpulan penting, sekali lagi, mempertanyakan ulang semuanya itu bukan bermaksud untuk mengacaukan segala sesuatu yang sudah teratur dalam "sistem" kehidupan kita. Tetapi untuk meyakinkan diri sendiri bahwa kita melakukan sesuatu karena memahami benar esensi, karena kita ingin hidup dalam segala passion-panggilan-mimpi kita, dan tidak sekedar ikut-ikutan arus.

Atau, kita tidak ingin susah-susah bertanya lagi? Betah dan pw menjadi seorang konformis yang ikut arus, apa kata orang, dan nyaman menjadi "mati" atau "dimatikan" dalam arus yang membutakan?

Beranilah menjadi seorang nonkonformis, ketika konformis itu tidak membawa kita ke arah yang benar atau baik. Beranilah. Jadilah berani.

No comments:

Powered by Blogger.