Baju Putih

June 04, 2013

Photo by Celia Michon on Unsplash


Papan bunga berdiri berderet menghiasi pinggir jalan menuju rumah yang kami tuju. Ungkapan-ungkapan turut berdukacita. Langit biru cerah sore itu sesampainya kami disana. Tenda di depan rumah menandai rumah yang kami tuju. Banyak orang, perempuan dan laki-laki, dengan pakaian hitam-hitam sudah hadir dan mengisi beberapa kursi di dalam tenda maupun di dalam rumah.

***

Siang itu, aku bertemu tak sengaja dengan grace di perpustakaan pusat universitas kami. Dia sedang duduk santai dengan segelas jus apel dan kentang goreng di salah satu cafe mini di lantai satu perpustakaan, sibuk dengan internet dan draft skripsinya, kesibukan umum dari para mahasiswa tingkat akhir. Aku menyapa sambil lalu, ingin segera bergegas ke lantai tiga untuk membereskan revisi draft jurnal ilmiah syarat ijazahku. Tak disangka, meski makanan-minuman pendamping tugasnya masih belum habis, grace memutuskan untuk mengikutiku ke lantai tiga. Ternyata koneksi internet di lantai satu juga sedang tidak bagus, kata grace. Aku menunggunya berkemas-kemas pindah sambil mencoba menghubungi ibuku. Kami bercengkerama mengenai topik keluarga, kabar terkini dari ayah dan adikku. Semuanya masih terasa tenang-tenang saja sampai grace juga mendapat telepon juga, dan setelah berbicara sebentar dengan orang di seberang sana, grace bergumam singkat padaku, “opungnya justice meninggal.”

***

Beberapa hari sebelumnya, aku ingat ketika sebuah blackberry messenger masuk di chatbox bbm-ku. Dari justice. Display picture bbm-nya menggambarkan sebuah ruangan di rumah sakit, ada sebuah tempat tidur disana dan seorang laki-laki berumur lansia terbaring dengan infus di atasnya. Pesan itu memang mengenai laki-laki di dalam display picture itu, opungnya justice. Beliau sudah 3 hari masuk ICU karena sakit, dan ketika hari itu justice menghubungiku via bbm, keadaan beliau sedang tidak sadarkan diri. Justice hanya meminta dukungan doa untuk beliau, opung doli* yang amat dikasihinya.

***

Kami bertiga, memasuki dalam rumah itu, mencari seorang perempuan berumur 20 tahunan berkulit putih dan berambut hitam panjang sebahu. Justice. Tapi justice tak terlihat, malah akhirnya seorang ibu menghampiri kami setelah mengetahui kami temannya justice. Ternyata ibunya justice. Kami memperkenalkan diri dengan sopan, satu-persatu. Tante meminta kami menunggu saja, karena justice sedang keluar sebentar. Kami menurut, berjalan menuju bangku-bangku yang sudah disediakan. Di ruang tamu, terlihat opung doli justice sudah terbaring dengan setelan jas yang rapi di dalam peti mati. Bunga-bunga berwarna putih yang harum mengelilingi beliau. Kedua tangan beliau terlipat di atas perutnya, wajah beliau sudah pucat pasi. Beberapa kerabat justice, mungkin anak atau menantu opung dolinya, duduk di sebelah peti: seseorang menangis, tetapi kebanyakan tidak.

***

Sambil menunggu justice datang untuk mengungkap rasa empati kami pada teman baik kami itu, tante meminta kami makan saja dulu. Sebuah tradisi adat batak memang seperti itu, tetap menyediakan makan bagi orang-orang yang datang melayat. Menunya khas, dengan saksang, ikan mas, dan ikan teri. Kopi dan teh ikut menemani. Pindah duduk di luar, kami melihat beberapa orang baru berdatangan, anggota keluarga justice. Justice belum kelihatan juga. Kami bersabar.

Sebuah lagu mulai mengalun, dinyanyikan dari dalam rumah mengiringi acara hari itu. Dalam penantian dan suasana tenang, aku mencoba merenungkan liriknya. Sebuah kelegaan mendalam, keluar lepas. Kedamaian penuh.


Dung sonang rohangku dibaen Jesus i
Porsuk pe hutaon dison
Na pos do rohangku di Tuhanta i
Dipasonang tongtong rohangkon
Sonang do, sonang do
Dipasonang tongtong rohangkon


***
Aku mengingat kembali percakapan singkatku dengan justice hari itu via blackberry messenger. Aku mengingat kembali kepasrahannya, kerelaannya untuk melepas opungnya pulang ke kekekalan. Kami sama-sama jatuh pada kenyataan indahnya jaminan yang sudah dimiliki seseorang yang percaya pada Yesus Kristus Tuhan: hidup kekal setelah kematian badani, bukan kematian kekal. Kami tidak kuatir untuk menerka-nerka apakah beliau sudah “cukup baik dan layak” untuk tempat bernama surga atau tidak. Darah Yesus sudah melayakkan dan menyempurnakan kebaikan itu setelah siapapun itu datang pada-Nya dengan percaya penuh. Sesederhana itu. Karena kasih yang tak terukur dan tak terselami. Tak dapat sepenuhnya dimengerti oleh siapapun. Kasih yang bahkan dinyatakan ada tetap meski kita tak layak mendapatkan ataupun menerimanya. Kasih yang tak terbatasi oleh akal rasio manusia.

Kami tidak kuatir merelakan beliau pergi pulang. Kami tidak kuatir merelakan beliau pergi pulang, karena kami tahu tempat yang akan ia tuju. Karena kami tahu kepada Siapa ia akan berpulang dan tinggal selama-lamanya. Sebuah tempat dimana kebahagiaan sejati dan kekal berdiam selama-lamanya. Bahagia bukan karena disana ada materi berlimpah ganti kehilangan di dunia fana. Bahagia bukan karena disana ada keselamatan dari api kekal yang menyiksa semata-mata. Tetapi bahagia penuh karena disana ada Yesus Kristus tinggal dekat, beserta, selama-lamanya. Apalah arti tempat bernama surga tanpa keberadaan Tuhan di dalamnya?

Kata justice, “yang terbaik untuk opung, hanya itu harapanku yul. Sembuh atau kembali pulang.” Kami sampai pada titik kepasrahan sempurna: kehendak Tuhan, biarlah jadilah. Kehendak Tuhan yang paling baik untuk kami.

***

Aku masih menikmati setiap kata dan bait dari lagu itu: belum pernah aku merenungkan dan menghayatinya sedalam ini sebelumnya. Dalam perenungan itu, tiba-tiba aku menyadari pakaian yang kupakai—bukan sebuah baju berwarna gelap atau berwarna hitam—sebagaimana yang biasa dipakai orang-orang yang datang melayat. Aku justru memakai sebuah baju putih yang dipadu jaket ungu berlengan pendek. Bukan kebetulan ketika tadi pagi aku memilih untuk mengenakan baju putih itu ke kampus, semuanya sudah di-set sempurna oleh tangan tak terlihat—tangan Yang Mahakuasa, demi mengajari betapa indahnya jaminan hidup kekal di dalam Yesus. Putih, putih untuk hidup yang kekal. Sebuah kemurnian, kekudusan sempurna, sukacita—ganti dukacita kematian kekal, yang hitam pekat. Dan ungu, untuk sebuah simbolisasi bahwa setiap orang akan kembali ke kekekalan mempertanggung-jawabkan hidupnya sendiri-sendiri kepada Yang Menciptakannya. Sebuah kesendirian yang tak bisa dihindari dan disangkali, untuk menyambut kekekalan.
***

Justice datang tidak lama, hanya sekitar lima belas menit setelah kami duduk di bangku luar itu, dengan beberapa bungkusan berwarna merah—tidak tahu apa isinya, mungkin untuk acara hari itu. Kedua adiknya ikut menemani di belakangnya. Ia menyadari kehadiran kami bertiga, aku, grace, dan citien, dan tersenyum kepada kami.

“Sebentar ya,” katanya. Tiada air mata sama sekali di raut wajahnya.

Kami menanti justice lagi di bangku luar. Lagu itu masih mengalun setia menemani kami. Sampai akhirnya, justice selesai dengan urusan di dalam rumah dan menghampiri kami. Dia baik-baik saja, dia sudah benar-benar yakin kehendak Tuhan yang terbaik maka jadilah. Jadi disanalah dia, duduk di sebelah kami di sofa di teras rumah dengan raut wajah tak terbeban, dan sesekali tersenyum.

Aku berharap dan mengamini begitu juga orang-orang yang melayat hari itu tanpa air mata. Semuanya yakin bahwa hidup yang kekal sudah menanti mutlak begitu alm.opung doli dari justice menghembuskan nafas terakhirnya. Sekarang, hanya tubuh fisiknyalah yang masih bersama-sama dengan kami, itupun sebelum upacara pemakaman—tapi roh dan jiwanya sudah kembali kepada Pemilik Hidupnya. Sebuah ketenangan sempurna.

Sebelum pulang petang itu, karena mengejar kereta api dan waktu menuju depok, aku berbisik kepada justice, “bukan kebetulan aku memakai baju putih hari ini, jujus. Ini simbolisasi bahwa opungmu sudah kembali pulang dengan tenang. Sudah bahagia dia, dong sonang rohang opungmu di baen Jesus i.” Justice mengangguk mengiyakan, tersenyum yakin. “Kembali pada Yesus, sekarang sudah senang opungmu.”


***


Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.

(Filipi 1 : 21) ♥



p.s. :

True story, february 25, 2013. Dedicated to our bestfriend, justice. Reminded about God’s perfect will—that is the best thing for all of us, forever and ever.


***

(Arti sederhana dari kutipan lagu berbahasa batak di atas, intinya: sudah senang jiwaku dibuat Yesus itu, derita di tahun-tahun hidupku berakhirlah sudah disini, teguh percaya jiwaku di dalam Tuhan itu, senang senantiasa jiwaku. senanglah, senanglah. senanglah senantiasa jiwaku...). Membayangkan seseorang yang sudah "mengakhiri cerita hidupnya" dengan baik di dalam agenda Tuhan, dan menyanyikan-dinyanyikan lagu ini, rasanya, mengharu-biru. Penderitaan dan perjalanan duka sudah selesai di bumi. sekarang bagian baginya hanyalah kedamaian dan senang bersama Yesus Tuhan, satu-satunya sumber kesenangan-kebahagiaan-kedamaian-dan-kehidupan-kekal-itu di surga.


*Opung Doli : sebutan untuk kakek dalam bahasa Batak.
*Lagu ini adalah versi bahasa Batak dari lagu “It Is Well With My Soul”

No comments:

Powered by Blogger.