Aladdin (2019), Jauh Melebihi Ekspektasi
Satu pengakuan saya
tentang film Aladdin (2019): saya sebenarnya
tidak begitu tertarik untuk menontonnya, sampai saya tahu bahwa Will Smith
(yang ngomong-ngomong, adalah aktor favorit saya sedari remaja) ternyata
memerankan Jin dalam film ini. Tapi, setelah menonton, saya sama sekali tidak menyesali keputusan
saya untuk menonton film ini di bioskop. Saya justru yakin akan sangat menyesal
jika tadinya tidak sempat menyaksikan film ini di bioskop. Aladdin (2019)
sungguh jauh melebihi ekspektasi saya, highly
recommended to watch.
Sebelum itu, penting
untuk melihat ke belakang, ke film animasi sebelumnya dari Aladdin (2019), yang
dirilis Disney di tahun 1992 dengan judul yang sama. Bagaimanapun, film Aladdin
(2019) memang adalah versi remake dari
Aladdin (1992), yang tak lagi dikisahkan dalam animasi—tapi CGI. Jika kamu adalah salah satu penggemar Disney Princess sejak
kecil seperti saya dan sudah menonton kedua versi filmnya, pasti lebih mudah
untuk kamu melihat begitu banyaknya modifikasi yang baik yang dilakukan Disney
di Aladdin (2019). Eits, ngomong-ngomong, tulisan ini mengandung banyak sekali spoiler ya.
Isu
Perempuan & Versi Baru Sosok Princess Jasmine
Sosok Princess Jasmine di
Aladdin (1992) dan Aladdin (2019) bisa dibilang digambarkan cukup berbeda.
Meskipun Jasmine tidak kehilangan keberanian dan keteguhan hati yang lekat pada
karakter awalnya, dalam Aladdin (2019), ia digambarkan jauh lebih berani, berambisi baik dan independen. Jasmine di
Aladdin (2019) adalah sosok perempuan yang ingin mendobrak sistem kultur yang seksis,
setelah pengalaman menyakitkan dari diskriminasi yang ia alami hanya karena ia
lahir sebagai seorang perempuan.
Di Aladdin (2019), kisah
Jasmine diperdalam dan dipertajam dengan cita-citanya untuk menjadi sultan
menggantikan ayahnya, demi memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya, sebagaimana
yang selalu dipesankan sang ibu. Meskipun jelas, belum pernah ada perempuan
yang menjadi sultan di kerajaan daerah Arab yang sangat patriarkhis itu. Sang
Sultan, ayahnya, kerap menolak keinginan itu—meski tidak dengan cara yang
begitu represif. Bagaimanapun, ia begitu mencintai putri semata wayangnya,
apalagi semenjak istrinya meninggal karena dibunuh—sehingga Sultan selalu
melihat Jasmine sebagai anak perempuannya yang masih kecil, luput menyadari
bahwa Jasmine telah bertumbuh dewasa juga dalam karakternya. Karena itu, Sultan
kemudian mengundang para pangeran dari negeri lain untuk datang melamar
putrinya. Detail cerita yang diperdalam ini belum ada di Aladdin (1992) dan
menjadi bagian cerita yang sangat menarik.
Tentang cita-citanya
menjadi sultan, Jasmine mengatakannya dengan jelas dan tegas tak hanya pada
Sultan, tapi juga pada Jafar dan Prince Ali (Aladdin). Meresponi cita-cita
Jasmine, film ini dengan baiknya menggambarkan dua sosok laki-laki yang sangat
berbeda. Jafar, yang terus berusaha mengintimidasi Jasmine untuk tetap diam dan
tidak berbuat apapun. Just to be seen,
but not heard—sebagaimana pandangan konservatif yang hanya melihat
perempuan sebagai objek (keindahan) dan tak lebih dari itu. Prince Ali (Aladdin), sebaliknya, mengatakan bahwa Jasmine bisa
menjadi apapun yang ia inginkan. Adegan mereka di atas karpet terbang ini
bermakna dalam sekali, mengingat tradisi Arab yang juga cukup patriarkhis—artinya,
Jasmine memang sedang berusaha mendobrak batas-batas kultur yang bias gender dan seorang laki-laki sedang mendukungnya
tanpa pura-pura. Kesungguhan Aladdin tergambar jelas dari raut wajah dan
alur adegan itu.
Princess Jasmine (Naomi Scott), dalam Aladdin (2019) |
Flashback ke film Aladdin (1992), bagaimanapun penokohan awal Jasmine bukanlah sosok perempuan yang pasif. Meski Sultan, ayahnya, sudah memintanya untuk segera menikah, dengan pangeran—Jasmine berani untuk menolak. Bukan hanya menolak permintaan ayahnya, tetapi juga lamaran-lamaran yang telah datang ke istananya. Ketika ia juga coba diperdaya oleh Jafar, Princess Jasmine dengan tegas menyatakan ketidakinginannya untuk tidak ingin menikah dengan Jafar. Namun, tetap saja, film Aladdin (1992) belum sevokal itu untuk isu pemberdayaan perempuan. Seturut dengan era zaman saat itu, arus feminisme belum kuat sekarang dan sebagaimana film Disney Princess lainnya, Jasmine juga digambarkan sebagai putri yang sepertinya hanya menginginkan kebebasan pilihan untuk memilih cinta dan pasangan hidup. Itu mengapa, cita-citanya menjadi Sultan di Aladdin (2019) menjadi detail baru yang sangat wow memukau.
Selain itu, ada begitu
banyak detail lain di Aladdin (2019) yang dipakai menyentil pemahaman kita selama
ini tentang isu-isu perempuan. Misalkan, adegan dimana Prince Ali datang ke
istana untuk melamarnya dan terjadilah pembicaraan tentang “mahar” yang “membeli
perempuan” dalam pernikahan. Prince Ali (Aladdin) “terpeleset” dalam
pembicaraan ini. Pun dalam percakapan Jasmine dengan pelayan pribadinya (Dalia),
Jasmine dengan pemikirannya yang feminis, juga sengaja dibenturkan dengan
pemikiran yang masih konservatif, melalui sosok Dalia. “A handsome prince wants to marry you. Oh, when will life get easier?” Jasmine
jelas mengernyitkan dahi untuk pertanyaan retorik ini. A handsome prince is not enough, my dear.
Adegan ketika Jafar
menjadi sultan dan Jasmine dibawa para pengawal keluar juga epic. Apalagi, ditambah dengan lagu berjudul Speechless, yang dinyanyikan Naomi Scott (aktris pemeran Jasmine) dalam film ini. Simak baik liriknya dan
penokohan Jasmine dalam adegan untuk lagu ini. Lagu Speechless ini berhasil memperdalam penekanan karakter pada tokoh Jasmine,
yang berani, tegas, kuat, independen, dan menolak untuk diam menyerah. Adegan
ini berakhir cukup mengesankan, ketika akhirnya Jasmine berbalik kembali ke
dalam istana dan berkomunikasi asertif pada Hakim, yang membuat Hakim
memutuskan menangkap Jafar meski Jafar telah menjadi seorang sultan. Kapabilitas
kepemimpinan Jasmine begitu kuat dalam adegan ini, bahkan membuat ayahnya haru.
Adegan ini jauh lebih
baik daripada adegan di Aladdin (1992), dimana Jasmine sudah diperbudak oleh
Jafar dalam kekuasaannya sebagai sultan tanpa detail yang jelas. Di Aladdin
(2019), Jafar dikisahkan tetap ingin menikahi Jasmine pula untuk “menyiksa”
batin ayahnya—tetapi kali ini, Jasmine tidak dipaksa. Ia sendiri “mengorbankan
dirinya” untuk memilih kemungkinan pilihan itu karena pedih melihat ayahnya
disiksa sihir Jafar. Namun, ketika upacara pernikahan dilangsungkan, Jasmine
memberontak dengan berani. How brave she
is.
Akhir film Aladdin (2019)
juga menarik bagi sosok Jasmine. Bukan sekedar mengambil peran sosok yang pasif
lalu happy ending dalam kisah
percintaannya dengan Aladdin (sebagaimana di versi animasi tahun 1992), Jasmine
mendapat akhir cerita yang lebih berkesan. Ia akhirnya mendapat restu ayahnya
untuk menjadi Sultan, meski ia adalah seorang perempuan—karena ayahnya telah
mengakui keberanian dan kapabilitas Jasmine. Setelahnya, ia baru memilih
sendiri apa yang ia inginkan terkait kisah cintanya dengan Aladdin.
Kisah Cinta Yang Lebih Realistis
Berpikir bahwa kisah
percintaan Aladdin & Jasmine klise, tak realistis karena memasangkan putri
Sultan dengan orang biasa yang bahkan dianggap lebih hina karena pekerjaannya
yang sering mencuri dan tidak berpunya apa-apa? Tunggu dulu. Aladdin (2019)
sukses menambahkan detail kedalaman yang penting untuk rasionalitas dan realitas
kisah cinta antara Aladdin & Jasmine lho.
Jasmine (Naomi Scott) & Aladdin (Mena Massoud), dalam Aladdin (2019) |
Dalam film Aladdin (2019)
ini, kisah percintaan Aladdin dan Jasmine digambarkan dalam alur yang
membuatnya lebih make sense. Bukan
hanya sekedar karena kesamaan pengalaman “being
trapped” in the world they didn’t want, Aladdin dan Jasmine bisa saling menolong satu sama lain untuk menembus batas-batas kekangan itu, yang ngomong-ngomong sudah tergambar
sejak Aladdin (1992). Tapi lebih dari itu, dalam Aladdin (2019), jelas Jasmine juga terpesona oleh betapa dalamnya
pengetahuan Aladdin mengenai rakyat yang diperjuangkannya (terkait dengan
keinginannya untuk menggantikan ayahnya sebagai Sultan, demi rakyatnya). Di
sisi lain, Aladdin juga terpesona oleh kepintaran
Jasmine, tak hanya kecantikannya. Simak saja penuturannya ketika
menjelaskan ini pada Jinnie.
Secara pribadi, menurut
saya, Jasmine memilih Aladdin sebagai pasangannya kemudian—tak hanya sekedar
soal cinta yang sifatnya sangat personal dan individualis (untuk statusnya
sebagai seorang putri), tetapi juga karena Aladdin bisa membantunya untuk mengenal dan memimpin rakyat. Ingat,
adegan di atas karpet terbang, ketika Jasmine kagum mengetahui Aladdin lebih
mengenal rakyatnya, ketimbang dia yang memang sulit untuk keluar dari istana. Ingat
lagi, adegan dimana Jasmine mengatakan bahwa ia tidak menyukai Prince Anders
pada Sultan karena Prince Anders hanya memikirkan dirinya sendiri dan tak
terlalu peduli pada urusan rakyat. Jelas, dalam hal ini, Jasmine tidak salah—mengingat
ada adegan dimana ia dan Aladdin sama-sama memberi perhatian dan peduli untuk
berbagi pada anak-anak yang miskin dan kelaparan. Inner character dari Aladdin adalah yang tak bisa diubah oleh harta
dan kuasa, pun terbukti di sepanjang alur cerita yang membuat tak hanya Jasmine
yang berdecak kagum, tetapi Sultan juga.
Meski begitu, alur cerita
cukup realistis untuk menggambarkan bahwa Jasmine bukannya tak pernah ragu
untuk memilih Aladdin sebagai pasangannya. Adegan percakapannya dengan Dalia
memberi penekanan mendalam tentang ini, ketika Dalia bertanya apakah Jasmine
percaya pada Prince Ali. Ketika Jasmine menjawab, ia percaya, dengan
alasan-alasan yang bisa ia hubungkan—Dalia membuatnya tertegun dengan bertanya,
“Apakah kau percaya padanya karena lebih mudah menikahi seorang pangeran
dibandingkan seorang pencuri?” Saya cukup yakin, perempuan secerdas Jasmine
pasti berefleksi dan berpikir keras setelah itu. Ternyata, Jasmine tak
semata-mata mabuk oleh cinta sehingga memilih Aladdin.
Bagian Penting Untuk Tokoh Jin
Menurut saya, film
Aladdin (2019) ini merupakan kisah yang cukup seimbang untuk tiga karakter
utamanya: Aladdin, Jasmine, dan Jin. Aladdin, tak lagi kebanyakan mendapat sorotan dalam alur cerita—meskipun, judul film
tetap menggunakan namanya. Jujur saja, mengapa awalnya saya kurang tertarik untuk menonton Aladdin adalah karena
film ini satu-satunya film dari 12 film (official)
Disney Princess yang menempatkan sang putri dalam posisi pasif sejak dari judulnya,
yang patriarkhis. Ternyata, saya salah menilai Aladdin (2019), yang justru memberi
penokohan yang benar-benar kuat pada sosok Princess Jasmine, terlepas dari
judul yang tidak berubah dari film animasi di 1992.
Jin (Will Smith) dalam Aladdin (2019) |
Terakhir, tentu saja
Jin, yang diperankan oleh Will Smith, mendapatkan peran yang cukup
besar—mengingat ceritanya mengawali dan mengakhiri film ini. Saya menduga, ini
juga mungkin bagian dari marketing film, karena Will Smith telah
memiliki nama yang cukup besar di dunia perfilman—setidaknya dibandingkan dua
tokoh utama lainnya. Tapi, tetap saja, penambahan bagian khusus bagi Jin ini
menjadi detail lain yang menarik dan baik. Will Smith, benar-benar menjiwai
karakternya sebagai Jin, percis menokohkan sebagaimana Jin di film
animasi 1992.
__________________________________
Aladdin (2019) sungguh membuat saya menganggumi sosok perempuan yang sangat berani dalam
diri Princess Jasmine. Membuat saya tersentuh oleh penokohan Aladdin, yang
tulus dan apa adanya, tanpa menyembunyikan fakta bahwa iapun beberapa kali tergoda
untuk menjadi Prince demi dapat menikahi Jasmine, tetapi kemudian terusik oleh
ketidakjujurannya sendiri. Membuat saya terharu dengan cara mereka berdua
bersahabat dengan binatang, Aladdin dengan Abu (monyet) dan Jasmine dengan
Rafah (harimau). Membuat saya terkesima dan sangat menikmati keindahan detail setting seperti kostum dan koreografi
yang ditampilkan. Membuat saya tertawa bahagia untuk selipan humor-humor yang
diselipkan dalam ceritanya, khususnya dalam penokohan yang diperankan oleh Will Smith.
Selain alur cerita dan
penokohan, yang lebih diperdalam dan didetail jelas, efek CGI dalam film ini
juga sangat bagus. Begitu memanjakan mata dan memainkan imajinasi kita. Lagu-lagu
yang disisipkan di adegan-adegan tertentu, juga sukses menambahkan penekanan
yang kuat pada tokoh dan cerita. Film ini jauh melebihi ekspektasi saya.
Senang, puas, sangat terhibur, pun terinspirasi banyak sekali.
No comments: