Sebatang Pohon, Bertahan di Musim Gugurnya
Seperti sebuah pohon
yang tinggal ranting dan cabang tanpa daun sama sekali di pinggir jalan raya atau
jalan tol. Pernahkah kau melihat dan pernahkah kau menyadarinya? Kadangkala, di
deretan pepohonan yang ditanam di pinggir jalan itu, di musim kemarau, ada satu
pohon—satu saja—yang semua daunnya gugur sendiri. Sementara banyak pohon lain
di deretan itu masih hidup dan berdiri dengan cabang dan ranting yang penuh
lebat dengan dedaunan hijau segar. Tapi pohon yang gugur itu, tak berdaun,
dalam kondisi seperti itupun—tetap hidup. Itu
adalah musim yang harus dialaminya. Musim gugur. Meski yang lain tak harus mengalami
seperti yang ia harus alami.
Saya mendadak
tersentuh menyadari pohon yang sedang mengalami musim gugurnya itu. Saya ingat
pelajaran biologi ketika kelas ilmu pengetahuan alam waktu sekolah dulu. Memang
beberapa jenis pohon harus mengalami musim gugurnya secara rutin, dimana ketika
musim itu datang menghampirinya, ia harus rela melepaskan semua daun-daunnya
dan bertahan hidup tanpa satupun daun yang masih melekat di rantingnya. Itulah musim. Sesuatu yang sudah diatur
untuk dijalani.
Lama saya memandangi
pohon yang sendirian itu menjalani musim gugurnya sampai mobil elf kantor saya
terus berlalu dan melaju. Kenapa saya tersentuh? Saya merenungi bahwa kadang,
manusia juga seperti itu. Betapa kuat si pohon yang melalui musim gugurnya
sendirian, padahal di sekitarnya, semua pohon masih tampak hijau dan tampak
segar. Meski begitu, tak satupun pohon hijau dan segar itu yang sanggup membantu si pohon gugur untuk tetap bertahan hidup. Saya prihatin dan kagum secara bersamaan. Dan juga ingin melihat, saat
dimana pohon yang kuat dan berani untuk menghadapi musim gugurnya sendirian
itu, mulai kembali mempersilahkan pucuk-pucuk daun hijaunya bertumbuh. Saya ingin
sekali melihat kali pertama ia memasuki musim semi, kali pertama dimana pucuk
daun mulai kembali bertumbuh. Melihat daun pertama. Melihat ranting pertama
yang kembali benar-benar menghidupkannya.
Kadang kita juga seperti itu. Hidup kelihatan terlalu kejam dan gersang hanya untuk diri kita sendiri, dan kita
harus melalui musim gugur kehidupan kita sendirian. Dalam kondisi sulit itu
bahkan, kita harus bertahan, meski di sekeliling kita, semua orang kelihatan
tidak tampak gersang dan tidak tampak kesulitan karena tidak harus mengalami
musim gugur seperti yang kita alami. Musim gugur, musim dimana daun-daun hijau
kita, segala hal-hal yang tampak baik mulai gugur. Harus gugur. Justru untuk membuat kita bisa bertahan hidup jauh
lebih lama. Mempertahankan hal-hal baik itu ternyata bisa membunuh kita jauh
lebih cepat, sebagaimana sebuah pohon harus mengugurkan dedaunan hijaunya di
musim gugur agar ia tidak perlu berjuang memberi mereka sari makanan yang akan
menguras tenaga mereka jauh lebih cepat.
Kadang kita juga seperti itu. Sendirian dan berguguran. Tapi tidak mati. Kita masih hidup, kita tetap hidup. Kita
hanya sedang diuji untuk memasuki musim yang lebih baik dan lebih menjanjikan
di masa depan. Asal kita menang, asal
kita menang. Asal kita bertahan. Bertahan.
Dan itulah harapanku,
Agar pohon itu bisa terus bertahan di musim gugurnya. Sama
seperti aku berharap untuk diriku sendiri.
Atau untuk siapapun, yang kesusahan bertahan sendirian,
di tengah musim gugurnya.
Cikarang, Jawa Barat, 26 November 2014.
Kak I'm crying reading this. Really2 know how it feels :"
ReplyDelete