Tendensi Membandingkan Diri, Rasa Syukur & Kita Yang Terjebak di Tengahnya

February 18, 2019

Di satu pelatihan, seorang teman pernah berkata, adalah wajar bahwa kita sebagai manusia seringkali membanding-bandingkan diri satu sama lain. Itu semacam sebuah tendensi manusiawi yang natural, sulit dicegah maupun ditolak. Masalahnya, di masa dimana media sosial menghujani kita dengan konten-konten “luar biasa” (meski kadang artifisial), tendensi membandingkan diri ini bisa menuntun kita perlahan-lahan menuju masalah kejiwaan seperti stres dan depresi. Karena itu, menurut teman saya, kita perlu belajar untuk tidak melihat selalu ke atas—ke mereka yang sepertinya telah mencapai hal-hal yang lebih baik dan lebih besar dari kita—karena kita akan merasa semakin kecil dan terpuruk. Sebaliknya, kita mungkin harus belajar melihat ke bawah—kepada mereka yang katanya mengalami hal yang jauh lebih sulit dan lebih berat daripada kita—supaya kita belajar bersyukur. Supaya kita tahu bahwa kondisi kita masih bisa ditanggung dan tidak seburuk yang kita kira.

Photo by Joshua Eckstein on Unsplash

Saya ingat saya merasa gelisah dan mengerutkan dahi saat itu, meskipun tidak bisa dan tidak ingin memberikan pendapat tambahan setelah pernyataan teman saya. Di dalam hati dan kepala, saya bertarung banyak dengan pandangan ini. Saya tidak bisa menerima asumsi bahwa kita perlu melihat ke bawah untuk belajar bersyukur. Bagi saya, ini menantang secara etis. Seperti kita tega untuk bersyukur, tetapi di atas penderitaan orang lain. Apakah ini adalah sesuatu yang harus kita lakukan—demi dapat bersyukur?


Membandingkan Diri Adalah Suatu Kewajaran

“Jangan membandingkan diri” adalah juga satu nasehat yang belakangan ini saya pertanyakan kembali. Apakah mungkin untuk kita manusia sama sekali tidak membandingkan diri dengan manusia lain? Dalam penelusuran saya, pun terhadap hasil merenungi pengalaman pribadi, saya jatuh pada kesimpulan yang sama seperti yang dikemukakan psikolog Leon Festinger, dalam Social Comparison Theory-nya di 1954. Membandingkan diri dalam kehidupan sosial adalah suatu kewajaran bagi manusia. Faktanya, adalah tidak mungkin bagi kita untuk tidak membandingkan diri. Namun, membandingkan diri tidak selalu berarti negatif, baik bagi kita (merasa rendah diri) atau bagi orang lain (ketika kita rendahkan). Perbandingan sosial ini dapat menjadi cara yang akurat untuk kita mengevaluasi diri sendiri dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.


Photo by Brittany Simuangco on Unsplash
Ini masuk akal. Perbandingan sosial adalah salah satu mekanisme untuk mempertahankan nilai dan norma dalam masyarakat juga. Kita melihat seseorang melakukan kekerasan seksual terhadap orang lain—kita membandingkan pilihan perilaku itu dengan konformitas dan nilai yang dipercayai sebagai panduan: bahwa kekerasan seksual adalah perilaku yang tidak benar. Saya melihat kawan saya yang mulai serius untuk mengurangi jejak lingkungan dan sampahnya, kemudian membandingkan dengan diri sendiri yang masih kompromistis—tetapi jadi terinspirasi untuk mengikuti apa yang kawan saya lakukan. Harus diakui, bahwa evaluasi (apalagi secara sosial) membutuhkan ukuran dan situasi pembanding. Jadi, membandingkan diri secara sosial tidak selalu berarti buruk.

Sejak kecil, kita juga belajar mengenali nilai dan norma dengan imitasi perilaku orang tua, keluarga, dan teman sebaya. Kita melihat ibu kita makan menggunakan sendok dan kita melihat diri sendiri yang kerepotan makan dengan tangan, lalu kita melihat anggota keluarga lainnya yang menggunakan sendok untuk makan di meja makan. Akhirnya, kita ingin menggunakan sendok juga untuk makan seperti mereka semua. Kita melihat teman-teman kita menggunakan maskara yang membuat bulu mata mereka kelihatan lentik dan kita yang masih belum akrab dengan maskara, jadi penasaran dengan alat make-up satu ini dan ingin belajar juga menggunakannya seperti teman-teman kita. Kita belajar beradaptasi secara sosial mempergunakan perbandingan sosial.


Membandingkan Diri Untuk Bisa Bersyukur

Setelah “berdamai” dengan tendensi untuk membandingkan diri secara sosial, saya kembali kepada pernyataan dari teman saya tadi. Ya, dalam hubungannya dengan rasa syukur. Membandingkan diri secara sosial memang adalah suatu hal yang perlu dan wajar untuk mengevaluasi diri dan beradaptasi. Namun, apakah kita harus membandingkan diri untuk bisa bersyukur?

Ada beberapa contoh yang terjadi sehari-hari. Teman kita bercerita tentang kondisinya yang memutuskan resign dari kantor dan berusaha bertahan dalam masa pengangguran, yang kadangkala tidak mudah—lalu kita jadi merasa bersyukur bahwa kita masih memiliki pekerjaan, penghasilan, dan tidak menganggur, meski atasan kita melakukan kekerasan verbal serius terhadap karyawan-karyawannya termasuk kita. Seorang teman lain bercerita betapa ia kesepian ketika hari raya, karena tak lagi ada anggota keluarga yang bisa berkumpul bersama—lalu kita jadi merasa bersyukur bahwa kita masih bisa berkumpul bersama keluarga besar meski penuh dengan drama dan kondisi sangat messy dalam hubungan interpersonal satu dengan yang lainnya. Kita bersyukur memiliki pasangan yang cuek dan tidak perhatian tetapi sering menggoda perempuan lain, ketika mendengar cerita teman kita yang mengalami kekerasan fisik dari pasangannya—berpikir setidaknya pasanganku tidak memukuliku seperti pasangannya. Saya bertanya-tanya seberapa wajar kondisi ini?

Photo by Ian Tormo on Unsplash

Yang paling klise yang sering dikatakan orang adalah terkait kondisi sosial-ekonomi. Kalau kamu masih punya rumah yang layak dan nyaman, masih bisa makan tiga kali sehari dengan menu yang sehat, masih memiliki fasilitas-fasilitas yang membuat hidup lebih mudah, bersyukurlah—kamu perlu melihat ke bawah dan menyadari bahwa lebih banyak orang yang hidupnya tidak seberuntung kamu di pinggir jalan raya. Mereka miskin, tidak punya tempat tinggal, hanya punya sehelai baju yang lekat di badan, dan untuk makan sekali sehari saja rasanya susah sekali.

Kebanyakan orang, tanpa berpikir kritis, seperti saya di masa kecil dan remaja dulu, bisa jadi terenyuh membaca kata-kata seperti ini. Akhirnya bersyukur atas kondisi hidup, bersyukur di atas penderitaan orang lain yang hidupnya terlihat “lebih susah”. Padahal, ada yang salah, janggal, dan tidak etis dalam “ajakan untuk bersyukur” (bersyukur saya tidak mengalami seperti yang mereka alami) ini.

Hal “bersyukur” sejenis ini bisa jadi sangat melukai di konteks situasi kehilangan. Saya memikirkannya ketika terjadi kecelakaan pesawat yang menewaskan begitu banyak orang—lalu ada cerita dimana penumpang yang entah bagaimana tidak jadi berangkat, merasa bersyukur karena mereka tidak jadi berangkat dan selamat. Ya, tidak salah memang untuk bersyukur karena selamat dari tragedi yang mengenaskan seperti ini. Namun, jika itu dilakukan di depan keluarga penumpang yang meninggal dan merasa sangat kehilangan—dengan membandingkan kondisi selamat vs tidak selamat—rasa syukur seperti ini rasanya tidak tepat, iya kan?

Bagaimanapun juga, kita memiliki tendensi membandingkan diri dan situasi hidup. Di masa-masa yang buruk, seperti kata teman saya, membandingkan diri dengan mereka yang mengalami hal lebih buruk jadi semacam siasat untuk merasa lebih baik. Tetapi, kita jadi menyangkal bahwa situasi yang sedang kita alami mungkin memang buruk. Kita tersandung untuk proses penerimaan (acceptance) akan apa yang terjadi—tanpa menyangkal atau memolesnya supaya bisa lebih mudah untuk “dikonsumsi”.

Saya tergugah untuk bertanya, kenapa tidak kita akui saja? Bahwa pekerjaan kita memang berat dan melelahkan dengan verbal abuse atasan kita—tetapi kita masih memerlukan gaji bulanan untuk bertahan hidup mengingat segala kebutuhan, jadi ya sudah, kita masih harus bertahan (tanpa harus membandingkan diri dengan teman yang menganggur). Bahwa pasangan kita memang cuek, tidak perhatian, dan mata keranjang, bukan tipikal pasangan yang bisa membangun kita secara sehat dalam emosi—tetapi kita masih menyayanginya dan belum bisa mengakhiri hubungan (tanpa harus membandingkan diri dengan pasangan orang lain). Bahwa keluarga besar kita memang sebegitu kacau berantakan dalam hubungan interpersonal—tetapi ya sudah, mereka adalah keluarga yang tidak bisa kita cut begitu saja (tanpa harus membandingkan diri dengan teman kita yang hidup sebatang kara).

Kita seringkali terjebak di tengah-tengah antara tendensi membandingkan diri dan rasa syukur. Bersyukur adalah semacam salah satu ritual spiritual yang harus dilakukan—yang sebenarnya berat di masa-masa sulit, sehingga kita yang merasa harus bersyukur, akhirnya memilih untuk membandingkan diri dan merendahkan orang lain, supaya kita bisa bersyukur. Ya, jika memang sedang tidak bisa bersyukur, mengapa harus dipaksakan untuk bersyukur?


Antara Tendensi Membandingkan Diri & Rasa Syukur: Menolak Terjebak di Tengah

Saya kembali ke Social Comparison Theory dari psikolog Leon Festinger. Bahwa, perbandingan sosial sebenarnya bisa berfaedah baik, untuk mengevaluasi dan mengembangkan diri (self-evalution & self-enhancement). Saya berpikir ini mungkin dilakukan tanpa harus merendahkan diri kita atau sebaliknya, merendahkan orang lain, dalam perbandingan itu. Perbandingan tidak selalu harus dilihat dalam jenjang bertingkat yang vertikal ke atas dan ke bawah, membagi orang-orang dalam kelas-kelas berlevel kan? Perbandingan bisa dilihat secara horizontal, perbedaan situasi sebagai suatu bentuk keberagaman, yang setara. Situasi berbeda yang tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk—keduanya sama-sama sulit dan menantang, ya sudah.

Penting untuk menantang pemikiran dan nilai-nilai kita. Situasi kita yang menghadapi atasan dengan verbal abuse pada karyawan-karyawannya belum tentu lebih baik dibandingkan situasi teman kita yang menganggur. Bisa jadi keduanya sama-sama buruk dan menantang, dalam ukurannya masing-masing.

Photo by Isaiah Rustad on Unsplash

Situasi pasangan kita yang cuek, kurang perhatian, tapi mata keranjang sebenarnya mungkin sama buruknya dengan situasi pasangan teman kita yang melakukan kekerasan fisik—sama-sama menguras emosi dan berdampak secara psikologis. Orang-orang miskin yang tidak memiliki tempat tinggal di pinggir jalan, sama juga dengan kita, yang mungkin memiliki masalah ekonomi dalam ukuran kebutuhan berbeda. Kita mungkin memiliki rumah untuk tinggal, makan tiga kali sehari, dan punya banyak pakaian di dalam lemari, tetapi masih harus bergulat dengan masalah tabungan atau masalah biaya pendidikan anak.

Setiap orang memiliki masalah dan bebannya masing-masing, yang kadangkala tidak perlu dibandingkan. Diakui saja, bahwa itu berat, dan kalau bisa, saling membantu supaya beban itu bertambah ringan (kalau tidak bisa saling membantu, setidaknya tidak saling memberatkan dengan perbandingan yang tidak perlu).

Menolak untuk terjebak di tengah-tengah antara tendensi untuk membandingkan dan rasa syukur, menurut saya, sama dengan berupaya bersikap etis terhadap orang lain—dengan menolak tendensi merendahkan orang lain ketika membandingkan diri dengan mereka yang sepertinya lebih di bawah kita. Di sisi lain, kita juga tak lupa berupaya bersikap etis terhadap diri sendiri, dengan menolak tendensi merendahkan diri sendiri ketika kita membandingkan diri dengan orang yang sepertinya berada di atas kita.

Menolak terjebak di tengah-tengah berarti mengingat bahwa, tidak perlu bersyukur jika untuk bisa bersyukur, kita harus membandingkan diri dan merendahkan orang lain. Menolak terjebak di tengah-tengah berarti mengingat bahwa, perbandingan sosial sebaiknya membangun kita dan orang lain, berdampak positif—bukan berdampak negatif.

No comments:

Powered by Blogger.