Proses & Nikmat Apresiasi
“Sometimes it’s the journey that teaches you
a lot about your destination.”
– Drake
Saya menulis tulisan ini
untuk mengaku, bahwa saya bukan seorang penikmat perjalanan kehidupan.
Setidaknya sampai detik dimana saya mencoba menuliskan ini, saya pun masih
bergumul banyak tentang menginternalisasi process-oriented
itu ke dalam diri sendiri : bagaimana cara mengapresiasi dan menikmati
proses, dibandingkan terlalu fokus kepada tujuan. Bagaimana untuk secara
berkelanjutan dan konsisten mengatakan kepada diri sendiri dengan yakin, “yul, life is a journey, let’s enjoy every
mile.” Tidak mudah ternyata, apalagi jika bertahun-tahun telah hidup
sebagai seseorang yang sangat goal-oriented.
Photo by averie woodard on Unsplash |
Tidak semua orang memang
terbiasa mengapresiasi proses, lebih dari hasil. Tidak sedikit orang juga
condong lebih goal-oriented daripada process-oriented. Tak terkecuali saya. Memiliki
banyak mimpi, tujuan, keinginan – itu baik. Saya ingat mimpi saya untuk menjadi
seorang novelis ketika masih berseragam putih-biru, keinginan saya untuk bisa
kuliah di Universitas Indonesia dan mengambil jurusan Sosiologi demi belajar
lebih banyak tentang kemiskinan, tujuan saya untuk bisa berdampak dalam upaya pengentasan kemiskinan masyarakat prasejahtera
di Indonesia setelah lulus, untuk the poorest of the poor. Belakangan saya malah menambahkan mimpi baru pada daftar itu: untuk berlibur dan menginjakkan kaki menikmati keajaiban laut dan
langit biru, dengan berbagai kekayaan kebudayaan di kepulauan Oceania, ditambah dengan tujuan untuk bisa berbuat
sesuatu yang signifikan untuk mendukung gerakan perempuan di Indonesia, untuk
menolong para perempuan yang menjadi korban sistem patriarkhi. List ini sebenarnya masih panjang
sekali jika ingin dilanjutkan, sebagaimana setiap orang juga memiliki mimpinya,
tujuannya, keinginannya sendiri-sendiri. Sekali lagi, saya sadar, memiliki banyak mimpi,
tujuan, keinginan – itu baik.
Namun, belakangan saya
menyadari bahwa terlalu fokus pada mimpi, tujuan, keinginan (baca: goals) dan luput memperhatikan dan
menikmati setiap-seluruh detail proses menuju itu semua, ternyata bisa jadi berbahaya.
Sangat berbahaya bahkan, bagi kesehatan mental. Ketika terlalu fokus pada goals dan luput menghargai proses,
ternyata saya menghadapi ketakutan yang berlebihan untuk gagal, semacam
anti-kegagalan. Selain itu, karena saya juga termasuk seorang perfeksionis, saya membuat
standar terlalu tinggi bagi langkah-langkah proses pencapaian saya. Akhirnya,
terlalu banyak self-blaming daripada self-appreciation, yang berpengaruh juga
pada self-esteem – apalagi ketika
sudah mulai membandingkan kesana-kemari. Teman-teman
yang sudah menulis di berbagai media kece,
aktivis-aktivis feminis yang aksinya terlihat nyata sekali, orang-orang
yang awalnya mungkin tidak berorientasi penuh pada the poorest of the poor tapi akhirnya bisa menolong mereka lebih
banyak dan lebih berdampak daripada saya.
Saya jadi merasa diri saya tidak sebaik itu, tidak seberdaya itu, tidak sekuat
itu. Sampai, merasa kurang, lemah, gagal. Padahal setiap orang memiliki (suka-duka)
perjalanannya masing-masing yang tak perlu dibandingkan. Padahal saya juga
masih dalam perjalanan, dan siapatahu? Perjalanannya masih begitu panjang. Saya
mungkin sudah terlalu banyak menghakimi diri sendiri di awal perjalanan? Sudah
terlalu kejam pada diri sendiri.
Photo by Cynthia del Río on Unsplash |
Tentang menulis,
misalnya. Saya selalu merasa tak sempurna. Sekalipun karya sudah berhasil dimuat
di beberapa media yang concerned ke isu
perempuan, saya masih merasa tulisan saya receh sekali (dan mungkin saja memang
receh di mata beberapa orang). Kadangkala, di titik terendah dimana saya merasa
paling demotivasi, saya bisa berhenti menulis sama sekali. Saya berhenti
belajar. Saya juga tidak sepede itu untuk mempromosikan link tulisan saya, sejujurnya. Saya masih takut dengan apa kata
orang, meski tidak sampai ke telinga saya. Saya tidak yakin bahwa tulisan saya
bisa berdampak sesuatu bagi gerakan perempuan. Akhirnya, pencapaian yang
sebenarnya sudah sangat progressive dalam
perjalanan tak bisa saya apresiasi, apalagi saya nikmati, dan saya lupakan
begitu saja. Seperti tidak ada harganya. Saya jadi mentok menuju destinasi
karena tidak bisa menghargai proses menuju destinasi.
Belakangan, saya sadar
bahwa saya lupa. Lupa caranya mengapresiasi proses. Lupa caranya merayakan
pencapaian-pencapaian kecil. Lupa bahwa satu-satunya hal yang abadi di muka
bumi ini adalah perubahan. Lupa mengingat bahwa di dalam hidup ini, siapapun
itu dan apapun itu akan terus berproses. Hal kecil mengawali hal besar. Kegagalan
mengawali keberhasilan. Hal receh mengawali hal yang lebih lembaran (hahaha #apasih). Termasuk juga soal pembentukan karakter
pribadi. Manusia berubah. Tak apa jika pernah salah atau tidak bijaksana, selama kita
belajar dari semua.
Saya juga lupa
mengapresiasi kegagalan, atau kekurangan, lupa melihatnya dari sudut pandang
yang berbeda. Lupa bahwa dunia tak boleh dilihat senaif itu, sehitam-putih itu,
bahwa hitam selalu terpisah dari putih. Sebaliknya, seperti filosofi Yin dan
Yang, hitam dan putih diciptakan untuk saling melengkapi – saling berhubungan
dan saling membangun satu sama lain. Dalam refleksi saya, sama seperti
kegagalan dan keberhasilan. Kegagalan tak selalu jadi kisah sedih. Kegagalan
juga bisa bercerita tentang banyak kisah, yang mungkin bisa mengantar kita juga
kepada keberhasilan di depan. Saya lupa belajar menerima kegagalan sebagai
bagian kehidupan yang memang penuh dengan percobaan. Sama juga seperti menang
dan kalah. Sama juga seperti kekurangan dan kelebihan. Sama juga seperti kesalahan
dan kebenaran. Ternyata, paradoksnya, buruk dan baik bisa jadi bersaudara. Kegagalan mungkin tidak perlu ditakuti,
kegagalan kadangkala mungkin perlu dirayakan.
Saya tahu saya perlu
belajar mengapresiasi dan menikmati proses menuju destinasi. Karena, nikmat
apresiasi itu juga salah satu bagian dari cara saya mencintai diri sendiri (self-love). Sekian lama, saya kejam pada
diri sendiri – dan itu tidak benar. Saya perlu harus berbaik hati pada
diri sendiri, karena kedirian itulah satu-satunya teman seperjalanan saya yang
paling setia dan selalu ada di samping saya.
Photo by Livin4wheel on Unsplash |
Dalam refleksi saya, mengapresiasi
dan menikmati proses bisa dimulai dengan acceptance,
penerimaan terhadap setiap detail proses yang terjadi. Baik atau buruk,
susah atau senang, berhasil atau gagal, sebagai bagian dari perjalanan
kehidupan. Juga penerimaan terhadap diri sendiri, sebagai individu yang unik
dan penuh dengan kelemahan-sekaligus-kelebihan yang seharusnya diterima tanpa
penghakiman, apa adanya. Tidak apa-apa, itu kedirian yang paling otentik yang saya
punya, penuh kejujuran dan bukan kepalsuan. Tidak lupa bahwa langkah besar
dimulai dari langkah kecil, saya perlu menjadi realistis. Merayakan
pencapaian-pencapaian, yang terkecil sekalipun, penting untuk self-esteem dan self-appreciation. Tidak menghakimi diri sendiri ketika tidak
berhasil, sebaliknya, memeluk diri sendiri sebagai seorang kawan yang
menyemangati dan mendukung sepenuh hati. Berikan pujian pada diri sendiri yang
sudah berproses sejauh ini. Beristirahat jika lelah di tengah perjalanan, supaya
tidak menyerah dan tidak lupa melanjutkan perjalanan. Wah, peer saya banyak sekali.
Pada akhirnya, saya sadar
penuh bahwa saya tidak bisa mengendalikan hasil destinasi (goals). Goals tetap
sesuatu yang tidak bisa 100% dipastikan, selalu mengandung sifat unpredictable. Saya hanya bisa do my best dalam proses, proses lebih
bisa dikendalikan daripada hasil destinasi (meski kadangkala, tidak juga sih
haha, ya udah, nikmati aja yul). Tapi, setidaknya, seperti pencerahan yang saya
dapat dari www.nerdycreator.com, semisal kita bercita-cita mau menerbitkan dan
menjual x buah buku yang kita tulis – kita harus mengakui bahwa tujuan dan
cita-cita itu tidak bisa sepenuhnya kita kontrol (ya, kita bisa menyusun
strategi marketing, berjejaring, dst –
tapi masih tetap ada faktor unpredictable
disana). Yang bisa kita lakukan, menurut www.nerdycreator.com, adalah
menyusun daily-non-negotiable-goal to keep us accountable, seperti menulis tiga jam setiap hari atau menulis satu
halaman setiap hari. Jadi, dalam setahun, kita sudah menyelesaikan sebuah buku
berjumlah 365 halaman. Saya juga ingin seperti itu. Mungkin bukan soal menulis
atau menerbitkan buku atau novel (karena sejujurnya, cita-cita itu sudah lama
terlupa dan terganti, setidaknya untuk saat ini), tapi soal berkontribusi bagi gerakan perempuan di Indonesia, misalnya. Mengukur kontribusi bukan hal mudah dan tentu
saja sangat unpredictable. Yang bisa
saya lakukan sebagai gantinya, adalah set
a non-negotiable-goal tadi itu : menulis dan mempublikasi minimal satu
tulisan setiap minggu di blog saya ini, atau mengirimkan satu tulisan ke media
perempuan sebulan sekali, atau displin belajar gerakan feminisme lebih mendalam
dan terjadwal, misalnya. Dalam semua non-negotiable-goals
ini, saya belajar fokus pada proses, tak sekedar hasil destinasi. Belajar mengapresiasi
dan menikmati proses.
Proses perjalanan yang
panjang, dan tak mudah, seringkali juga menjadi kenangan cerita yang indah bagi
sebuah hasil destinasi yang sudah berhasil dicapai. Iya kan? Atau
jangan-jangan, proses perjalanan malah menuntun kita untuk lebih terbuka melihat
destinasi yang berbeda, yang lebih baik atau lebih seru dari yang sebelumnya? Bisa
saja. Nikmat apresiasi dari proses, siapa tahu?
p.s. :
Selamat terus belajar mengapresiasi dan
menikmati proses perjalanan kehidupan, dear
self. You did a very good job so far, and I am proud of you. Life is a journey yuli, let's enjoy every mile! :)
No comments: