Perkara Menjadi Orang Tua Dalam Refleksi Seorang Anak
Scene dalam K-Drama Angry Mom (2016, MBC) |
Sebelumnya, tulisan ini
saya tuliskan setelah tergugah karena menonton K-Drama berjudul Mother (2018 di tvN, masih on air), sebuah drama yang bercerita
tentang seorang anak bernama Kim Hye Na yang menjadi korban child abuse ibu dan pacar ibunya.
Tulisan ini juga saya tuliskan karena tergugah ketika menemukan (dan
menyanyikan) lagu-lagu dengan deep lyrics
tentang relasi orang tua-anak seperti Perfect
dari Simple Plan dan Let You Down dari NF. Tulisan ini saya
tuliskan karena tergugah setelah menyadari jumlah anak jalanan yang berkeliaran
di lampu merah ibukota sepertinya tidak berkurang juga, dan setelah melihat
betapa banyaknya kasus bullying, suicide
& mental health problems, child abuse, child rape, sampai kasus-kasus terkait
lainnya.
Saya menuliskan ini demi
semua anak yang terlantar di muka bumi. Saya menuliskan ini demi semua anak
yang tak diacuhkan ayah-ibu sendiri. Saya menuliskan ini demi semua anak yang
menyesal pernah dilahirkan dan menyadari tidak pernah meminta dilahirkan ke
dunia. Saya menuliskan ini demi semua anak yang mengalami kekerasan dari orang
tua atau walinya, apapun bentuknya. Saya menuliskan ini demi semua anak yang
ditinggalkan di panti asuhan, dipaksa turun mencari nafkah di jalanan, sampai
dituntut mengikuti seluruh kemauan orang tua tanpa pernah didengarkan isi
hatinya. Saya menuliskan ini demi semua anak yang pernah bertanya, mengapa saya harus lahir dari orang tua
seperti ini? Saya menuliskan ini dalam refleksi seorang anak, sebagai
seorang anak – yang mengalamatkannya menjadi semacam surat terbuka, bagi para
orang tua dimana saja berada.
1. Banyak orang berkeinginan untuk menikah dan banyak orang berkeinginan untuk memiliki anak. Namun, apakah semua orang yang berkeinginan untuk menikah dan memiliki anak itu mempersiapkan diri untuk pernikahan dan untuk memiliki anak? Apakah semua orang yang berkeinginan untuk menikah dan memiliki anak menyadari bahwa menjadi suami / istri dan menjadi ayah / ibu adalah dua hal berbeda yang harus dipersiapkan dengan sangat-amat serius?
2. Mempersiapkan diri untuk menjadi orang tua lebih dari persoalan materil-finansial. Banyak orang luput untuk menyadari bahwa memiliki dan membesarkan anak juga merupakan persoalan kesiapan mental-emosional (apalagi di Indonesia yang masih minim dalam kesadaran bahwa kesehatan mental adalah kebutuhan siapa saja). Tak bisa disangkal, perkembangan kepribadian dan mental anak sangat dipengaruhi oleh orang tua dan kondisi lingkungan keluarga kan?
3. Over all, memiliki anak memang sebuah “tugas” dan tak semua orang siap untuk “tugas” itu. Tugas itu membutuhkan kesiapan yang holistik—materi dan finansial, mental dan emosional, bahkan sampai spiritual. Bukankah tugas seperti itu menuntut dan membutuhkan tanggung jawab seumur hidup?
4. Ya, penting bagi orang tua menyadari bahwa anak adalah tanggung jawab, bukan barang milik. Bahwa anak adalah subjek, dan bukan objek. Dalam hal ini berarti orang tua tidak seharusnya memaksakan kehendak personal pada anak tanpa mempertimbangkan kehendak anak. Tapi mari kita akui saja, tak banyak orang tua yang tak memaksakan kehendak pada anaknya kan (meski kadang dalam cara yang sangat halus atau implisit) – bahkan sampai anak telah beranjak dewasa?
5. Tidak ada anak yang minta dilahirkan (anak juga tidak bisa memilih lahir dimana dan siapa orang tuanya). Jadi, bisa dikatakan bukankah orang tua juga membutuhkan anak? (Termasuk untuk perihal social acceptance dari masyarakat atau keluarga besar, dan seterusnya: pertanyaan “sudah punya anak?” atau “anaknya sudah berapa?” bisa jadi sangat membebani bagi pasangan yang sudah menikah. Orang tua tidak boleh hanya menekankan bahwa anaklah yang satu-satunya membutuhkan orang tua (untuk merawat, mengurus, membesarkan). Orang tua juga nyatanya membutuhkan anak. Kecuali mungkin dalam beberapa kasus dimana anak memang tidak direncanakan. Iya kan?
6. Masalah baru timbul ketika memiliki anak dihubungkan erat dengan pernikahan. Ketika memiliki anak dihubungkan erat dengan lembaga pernikahan, maka memiliki anak menjadi salah satu tujuan mutlak utama pernikahan. Karena itu, menikah tapi tidak memiliki anak adalah seperti dosa, atau penyimpangan. Nonkonformitas. Selalu ada tuntutan sosial dari masyarakat untuk pasangan yang sudah menikah memiliki anak. Karena tuntutan sosial, akhirnya, beranak tak lagi memiliki tujuan dan persepsi yang jelas. Termasuk kesiapan. Di sisi lain, ketika memiliki anak dihubungkan erat dengan lembaga pernikahan, maka seperti hukum yang berlaku di Indonesia, mereka yang belum atau tidak menikah tidak boleh mengadopsi anak. Padahal kadangkala, mereka justru lebih siap daripada yang sudah menikah. Padahal, begitu banyak anak yang terlantar yang butuh diadopsi dan memiliki orang tua atau wali yang baik. Saya tak habis pikir mengapa?
7. Masalah baru timbul ketika memiliki anak kadangkala dipisahkan dari seks sebagai cara reproduksi dan prokreasi. Kita lupa bahwa seks sebenarnya bisa menjadi media rekreasi (maaf karena saya tidak membahas ini dari sisi agamis karena itu tidak mau membatasinya pada sekat lembaga pernikahan dan keluarga). Karena itu, safe sex dan seks yang bertanggung jawab sangat diperlukan. Setidaknya agar tak ada kesalahan “kebobolan” sehingga lebih kecil juga kemungkinan anak-anak lahir di luar perencanaan dan harus mengalami rasa penolakan dari ayah-ibu sendiri. Lebih fair bagi anak kan?
8. Lebih baik tidak dulu memiliki anak, jika belum merasa siap. Tak apa saya pikir. Tak semua tuntutan sosial harus diikuti dan dipenuhi setengah mati. Karena yang dikorbankan bukan hanya soal diri sendiri, tetapi diri yang lain. Anak itu. Subjek itu. Pribadi itu. Ini bukan hanya soal satu kehidupan, tetapi lebih. Ini juga tentang generasi kemudian, yang tak bisa disepelekan. Iya kan?
9. Saya berharap bahwa semua calon orang tua, atau mereka yang mendamba untuk menikah dan menjadi orang tua, mencoba jujur pada diri sendiri. Apakah menjadi orang tua hanya soal merasa ingin punya anak ketika melihat ada teman yang sudah menggendong bayi dan bayinya tampak lucu sekali? Apakah memiliki anak hanya soal merasa ingin dan bukan merasa mampu, juga siap?
10. Meskipun, menjadi “siap” itu sendiri, dalam perihal menjadi orang tua, merupakan sesuatu yang abstrak sekali. Tak bisa diukur sekuantitatif itu. Dimana ada orang yang bisa benar-benar 100% tanpa celah siap menjadi orang tua? Mungkin memang kesiapan juga merupakan sebuah on-going process, proses berkelanjutan. Yang tak boleh berhenti diupayakan dan tak boleh dilupakan di tengah jalan. Yang jelas, sekali menjadi orang tua, tanggung jawab harus dipikul seumur hidup. Tak ada yang boleh berhenti di tengah jalan, seharusnya kan?
1. Banyak orang berkeinginan untuk menikah dan banyak orang berkeinginan untuk memiliki anak. Namun, apakah semua orang yang berkeinginan untuk menikah dan memiliki anak itu mempersiapkan diri untuk pernikahan dan untuk memiliki anak? Apakah semua orang yang berkeinginan untuk menikah dan memiliki anak menyadari bahwa menjadi suami / istri dan menjadi ayah / ibu adalah dua hal berbeda yang harus dipersiapkan dengan sangat-amat serius?
2. Mempersiapkan diri untuk menjadi orang tua lebih dari persoalan materil-finansial. Banyak orang luput untuk menyadari bahwa memiliki dan membesarkan anak juga merupakan persoalan kesiapan mental-emosional (apalagi di Indonesia yang masih minim dalam kesadaran bahwa kesehatan mental adalah kebutuhan siapa saja). Tak bisa disangkal, perkembangan kepribadian dan mental anak sangat dipengaruhi oleh orang tua dan kondisi lingkungan keluarga kan?
3. Over all, memiliki anak memang sebuah “tugas” dan tak semua orang siap untuk “tugas” itu. Tugas itu membutuhkan kesiapan yang holistik—materi dan finansial, mental dan emosional, bahkan sampai spiritual. Bukankah tugas seperti itu menuntut dan membutuhkan tanggung jawab seumur hidup?
4. Ya, penting bagi orang tua menyadari bahwa anak adalah tanggung jawab, bukan barang milik. Bahwa anak adalah subjek, dan bukan objek. Dalam hal ini berarti orang tua tidak seharusnya memaksakan kehendak personal pada anak tanpa mempertimbangkan kehendak anak. Tapi mari kita akui saja, tak banyak orang tua yang tak memaksakan kehendak pada anaknya kan (meski kadang dalam cara yang sangat halus atau implisit) – bahkan sampai anak telah beranjak dewasa?
5. Tidak ada anak yang minta dilahirkan (anak juga tidak bisa memilih lahir dimana dan siapa orang tuanya). Jadi, bisa dikatakan bukankah orang tua juga membutuhkan anak? (Termasuk untuk perihal social acceptance dari masyarakat atau keluarga besar, dan seterusnya: pertanyaan “sudah punya anak?” atau “anaknya sudah berapa?” bisa jadi sangat membebani bagi pasangan yang sudah menikah. Orang tua tidak boleh hanya menekankan bahwa anaklah yang satu-satunya membutuhkan orang tua (untuk merawat, mengurus, membesarkan). Orang tua juga nyatanya membutuhkan anak. Kecuali mungkin dalam beberapa kasus dimana anak memang tidak direncanakan. Iya kan?
6. Masalah baru timbul ketika memiliki anak dihubungkan erat dengan pernikahan. Ketika memiliki anak dihubungkan erat dengan lembaga pernikahan, maka memiliki anak menjadi salah satu tujuan mutlak utama pernikahan. Karena itu, menikah tapi tidak memiliki anak adalah seperti dosa, atau penyimpangan. Nonkonformitas. Selalu ada tuntutan sosial dari masyarakat untuk pasangan yang sudah menikah memiliki anak. Karena tuntutan sosial, akhirnya, beranak tak lagi memiliki tujuan dan persepsi yang jelas. Termasuk kesiapan. Di sisi lain, ketika memiliki anak dihubungkan erat dengan lembaga pernikahan, maka seperti hukum yang berlaku di Indonesia, mereka yang belum atau tidak menikah tidak boleh mengadopsi anak. Padahal kadangkala, mereka justru lebih siap daripada yang sudah menikah. Padahal, begitu banyak anak yang terlantar yang butuh diadopsi dan memiliki orang tua atau wali yang baik. Saya tak habis pikir mengapa?
7. Masalah baru timbul ketika memiliki anak kadangkala dipisahkan dari seks sebagai cara reproduksi dan prokreasi. Kita lupa bahwa seks sebenarnya bisa menjadi media rekreasi (maaf karena saya tidak membahas ini dari sisi agamis karena itu tidak mau membatasinya pada sekat lembaga pernikahan dan keluarga). Karena itu, safe sex dan seks yang bertanggung jawab sangat diperlukan. Setidaknya agar tak ada kesalahan “kebobolan” sehingga lebih kecil juga kemungkinan anak-anak lahir di luar perencanaan dan harus mengalami rasa penolakan dari ayah-ibu sendiri. Lebih fair bagi anak kan?
8. Lebih baik tidak dulu memiliki anak, jika belum merasa siap. Tak apa saya pikir. Tak semua tuntutan sosial harus diikuti dan dipenuhi setengah mati. Karena yang dikorbankan bukan hanya soal diri sendiri, tetapi diri yang lain. Anak itu. Subjek itu. Pribadi itu. Ini bukan hanya soal satu kehidupan, tetapi lebih. Ini juga tentang generasi kemudian, yang tak bisa disepelekan. Iya kan?
9. Saya berharap bahwa semua calon orang tua, atau mereka yang mendamba untuk menikah dan menjadi orang tua, mencoba jujur pada diri sendiri. Apakah menjadi orang tua hanya soal merasa ingin punya anak ketika melihat ada teman yang sudah menggendong bayi dan bayinya tampak lucu sekali? Apakah memiliki anak hanya soal merasa ingin dan bukan merasa mampu, juga siap?
10. Meskipun, menjadi “siap” itu sendiri, dalam perihal menjadi orang tua, merupakan sesuatu yang abstrak sekali. Tak bisa diukur sekuantitatif itu. Dimana ada orang yang bisa benar-benar 100% tanpa celah siap menjadi orang tua? Mungkin memang kesiapan juga merupakan sebuah on-going process, proses berkelanjutan. Yang tak boleh berhenti diupayakan dan tak boleh dilupakan di tengah jalan. Yang jelas, sekali menjadi orang tua, tanggung jawab harus dipikul seumur hidup. Tak ada yang boleh berhenti di tengah jalan, seharusnya kan?
Setelah keluh-kesah
refleksi yang panjang ini, saya pun sejujurnya tidak tahu bagaimana cara
mempersiapkan diri untuk menjadi orang tua (dan sama sekali tidak
memiliki keinginan apalagi rencana untuk menikah dan menjadi orang tua). Maaf karena
tulisan ini juga saya tuliskan dalam refleksi dan posisi saya sebagai seorang
anak dan bukan orang tua, yang memang bertujuan untuk bertanya kepada para orang tua. Maaf jika tone yang saya gunakan agak keras, tetapi pertanyaan di setiap poin perenungan sebenarnya menjadi simbolisasi atas refleksi pribadi, sebagai seorang anak, yang mencoba melihat akar penyebab penelantaran sistemik dalam keluarga-keluarga, yang pun masih dipertanyakan lagi. Harapan saya, kiranya setiap orang yang ingin
memiliki anak dianugerahi kesiapan dan kemampuan. Yang memang harus diusahakan,
yang mungkin membutuhkan waktu seumur hidup – bahkan setelah anak-anak lahir
dan menambah jumlah anggota dalam kartu keluarga. Demi tidak ada lagi anak-anak
terlantar dalam bentuk apapun di muka bumi, sebagaimana adalah satu-satunya tujuan yang menggerakkan saya menulis tulisan ini. Semoga.
No comments: