Bagaimana Melalui Realita Putusnya Pertemanan (Friendship Break-Up)

November 01, 2020

 

Beberapa penelitian mengatakan, friendship break-up ternyata lebih sulit dilalui daripada realita putus relasi romantis. Relasi romantis kerap memiliki status yang jelas dan awal-akhir yang jelas pula, kapan dimulai dan biasanya pasti ada pembicaraan tentang keputusan mengakhiri dari kedua belah pihak yang berelasi. Namun, pertemanan dan persahabatan tidak selalu begitu dan kebanyakan memang tidak begitu. Ada saja kalanya pertemanan putus tanpa ba-bi-bu. Tiba-tiba hilang kontak dan komunikasi, saling menjauh dan akhirnya berpisah tanpa kata-kata selamat tinggal. Itu salah satu hal yang membuat friendship break-up menjadi sulit dilalui.


Photo by Jan Tinneberg on Unsplash


Blak-Blakan Tentang Friendship Break-Up

 

Bagaimana saya menerjemahkan friendship break-up? Saya rasa dengan satu kalimat saja cukup: kenyataan bahwa kita, sebagai sesama kawan karib, sudah saling melupakan satu sama lain sekian lama sampai tak terjembatani lagi (sebelumnya, saya pernah menulis juga di blog ini, tulisan refleksi saya tentang persahabatan: saya percaya bahwa persahabatan adalah tentang tak saling melupakan satu sama lain). Relasi yang tak terjembatani lagi itu sama dengan putusnya relasi.

 

Memang belum ada definisi yang jelas untuk friendship break-up. Namun secara ringkas dan sederhana, kita bisa menyimpulkan bahwa friendship break-up berarti putusnya segala relasi dan komunikasi antara dua orang kawan. Alasan mengapa, bisa macam-macam. Mulai dari seserius konflik yang memisahkan, sampai sesederhana perubahan fase hidup yang menjauhkan satu sama lain perlahan-tapi-pasti.

 

Bicara soal pertemanan sendiri, rasanya kompleks. Bagi saya yang berkepribadian INFJ ini, relasi-relasi pertemanan berkualitas yang bisa jadi safe space sangat penting. Mungkin itupula yang mendasari saya menggolongkan relasi-relasi pertemanan ke beberapa kategori: inner circle (sahabat-sahabat yang terdekat), kawan-kawan karib lainnya, dan sekedar teman yang saling kenal saja. Tentu saja, kesulitan melalui friendship break-up tergantung dari seberapa dekat relasi pertemanan itu. Kalau sekedar teman yang saling kenal saja, ya udah. Sensi sih, tapi memang gak dekat kan? Less expectations. Yang paling sulit, pasti ketika sudah saling menyemat kata sahabat dan tadinya berada di inner circle. Namun, friendship break-up dengan kawan-kawan karib lainnya bukan berarti juga tak sulit. Bagi saya, itu termasuk kawan-kawan karib yang pernah satu komunitas, pernah kenal dekat dan heart-to-heart juga dalam berbagi kisah hidup—meski tak selalu dan tak se-intens inner circle.

 

Beberapa tahun ini, saya ingat pernah baper karena tidak mendapat undangan pernikahan dari beberapa kawan—termasuk salah satu sahabat saya sepanjang masa SMP & SMA, atau yang lain yang pernah sekomunitas dengan saya dan saya anggap kawan karib. Meskipun, harus diakui, relasi dan komunikasi saya dengan mereka ini juga sudah merenggang sebelumnya: jadi, momen dimana saya sadar saya tidak mendapat undangan pernikahan menjadi aha! moment yang menegaskan realita friendship break-up. Relasi pertemanan kami tak penting lagi, saya tak diingat lagi. Dalam hal ini, mungkin perubahan fase hidup, kondisi dan usia sanggup menjauhkan dan memutuskan relasi pertemanan.

 

Sebaliknya, saya juga harus mengakui beberapa tahun belakangan, saya dengan sengaja memutuskan beberapa pertemanan yang tadinya akrab dan tidak ingin menoleh ke belakang lagi untuk kesempatan membangun-ulang relasi. 100% putus relasi dan komunikasi. Dari Introvert Dear, ada istilah khusus bagi mereka yang berkepribadian INFJ: INFJ door slam. Sebagai seseorang yang friendship-oriented, jelas tak mudah bagi saya untuk slamming the door—itu pilihan terakhir yang mau tak mau harus dipilih karena relasi yang sudah terlalu tak seimbang lagi atau bahkan emotionally painful. Saya tidak ingin menghakimi eks-kawan saya sebagai orang yang toksik, mungkin karakter kami pada akhirnya tidak cocok saja dan kami kesulitan beradaptasi.

 

Pengaruh Menjadi Dewasa & Media Sosial

 

Semua orang yang mementingkan pertemanan sepertinya akan mengalami realita friendship break-up di usia kepala dua. Saya ingat beberapa sahabat di inner circle saya juga pernah berbagi keluh-kesah yang sama tentang friendship break-up ini. Atau, bagaimana di media sosial, banyak juga yang mengakui kehilangan kawan karena perubahan-perubahan fase hidup di usia 20-an.

 

Mungkin menjadi dewasa itulah yang sulit. Saya merasa saya tidak terlalu banyak overthinking atau baper ketika saya masih belum kepala dua. Saya ingat kawan karib pertama saya di bangku TK. Selepas TK, kami tak pernah bertemu. Di jenjang SMA ternyata kami satu sekolah lagi, meski tak sekelas. Realitanya, kami tak saling tegur sapa sama sekali dan saya fine saja dengan realita ini. Begitu juga dua sahabat saya di bangku SD. Kami terpisah sejak memilih bersekolah di SMP & SMA berbeda, baru terhubung lagi melalui media sosial bertahun-tahun kemudian selepas sekolah—tapi relasinya sudah biasa saja dan saya fine dengan itu. Media sosial (& smartphone) baru mulai benar-benar hype sejak saya kuliah.

 

Berbeda halnya dengan sekarang ini: masa dewasa. Saya tidak tahu apakah bertambah usia bisa menaikkan tingkat sensitivitas dan overthinking seseorang—atau justru semua ini karena pengaruh media sosial yang mendekatkan-tapi-juga-menjauhkan-sekaligus? Maksud saya, seperti salah satu sahabat saya sepanjang SMP-SMA itu. Sekarang, kami sudah terpisah jarak dan kondisi. Saya tidak tahu lagi kabarnya, tapi media sosial membuat saya tahu saya masih bisa mengetahui kabarnya disana. Mungkin saya tidak akan terlalu overthinking soal friendship break-up kalau tidak ada media sosial? Mungkin dua alasan (menjadi dewasa & media sosial) itu menjadi pelengkap yang rumit akan satu sama lain.

 

Dalam artikel Makin Tua Teman Makin Sedikit? Kamu Tak Sendirian” di Tirto, sebuah penelitian yang dikutip mengatakan setelah umur 25 tahun, lingkaran pertemanan mulai menyusut. Perempuan kehilangan teman lebih cepat dibanding laki-laki. Orang mulai mengeliminasi teman berdasar ‘seberapa penting orang tersebut di hidup mereka’ dan perempuan kehilangan teman lebih awal karena konsep berteman seperti mencari pasangan hidup (mengeliminasi yang tidak cocok). Oh ya, tentu saja, faktor berkeluarga menjadi esensial dan menyebabkan perubahan prioritas. Nah, ternyata ini masalah bagi hampir semua orang kok.

 

Secara personal, setelah mengobservasi sana-sini, saya menyadari friendship break-up merupakan satu realita yang alamiah terjadi meski tak mudah untuk dilalui. Beberapa refleksi personal saya mengenai realita friendship break-up, yang mungkin bisa membantu lebih berkuat hati :

 

1. Segala sesuatu ada masanya, termasuk relasi pertemanan.

Kata Heraclitus, nothing endures but change. Tidak ada yang abadi di muka bumi ini, termasuk pula relasi pertemanan. Karena pertemanan sifatnya resiprokal dua arah, kita tak berkuasa untuk menentukan masa depan relasi ini. Banyak faktor yang bisa mempengaruhi, termasuk jarak, waktu, situasi dan kondisi. Pada kenyataannya, wajar jika relasi pertemanan kita merenggang dan menjauh dengan kawan-kawan akrab di masa sekolah atau kuliah, setelah kita lulus dari sekolah atau universitas. Wajar jika relasi pertemanan merenggang dan menjauh, bahkan putus, setelah ada yang berumah tangga—ataupun berpindah domisili. Tidak apa kemarin akrab, sekarang asing. Let it go. Bahkan relasi antar anggota keluarga yang terikat ikatan darah saja bisa berubah dan bisa putus—wajar jika relasi pertemanan bisa berubah dan bisa putus.

 

2. Kenyataannya, manusia pasti terus berubah dan perubahan satu sama lain bisa saja menjarakkan dan mengubah relasi.

Kita tidak bisa berharap tidak ada yang berubah dari teman-sahabat kita, atau bahkan dari kita sendiri—itu utopis. Perubahan itu pasti, termasuk dalam karakter, prioritas dan preferensi. Karena itu, relasi apapun termasuk pertemanan, membutuhkan proses re-adaptasi terus-menerus. Kegagalan beradaptasi terhadap satu sama lain tentu bisa mengubah relasi. Ah ya, perlu juga mengenali apakah jangan-jangan kawan kita ternyata memang tidak se-friendship-oriented kita. Perlu digaris-bawahi, tidak semua orang mementingkan pertemanan lho. Ada yang lebih mementingkan keluarga dan pasangan. Menurut saya, lebih baik tidak berharap terlalu banyak pada kawan-kawan yang memang tidak mementingkan pertemanan: percayalah, kemungkinan kamu mengalami friendship break-up dengan mereka akan jauh lebih tinggi. Bisa disebut sebagai pertemanan bertepuk sebelah tangan mungkin ya, hehe.

 

3. Wajar dan manusiawi jika merasa kehilangan.

Wajar jika kita kesulitan melalui realita friendship break-up dan butuh waktu meratap dulu, apalagi untuk relasi-relasi pertemanan yang tadinya akrab sekali. Kehilangan itu manusiawi. Bukan hanya orang yang berelasi romantis yang bisa patah hati dan berduka karena kehilangan, orang-orang yang berkawan baik bisa juga kok. Kita perlu memvalidasi perasaan yang muncul dan mempraktikkan self-compassion kepada diri sendiri untuk melalui kehilangan karena friendship break-up.

 

4. Evaluasi & refleksi. Tapi ingat, tidak perlu menyalahkan.

Don't blame your ex-friends and don't blame yourself. Biasanya kan begitu. Kita mencari-cari apa yang salah, dimana yang salah. Tentu saja kita perlu bersikap objektif untuk mengevaluasi relasi pertemanan kita selama ini—tapi kita tidak perlu menyalahkan satu pihak. Saya yakin, tidak ada yang selama berelasi tak pernah salah atau tak pernah mengecewakan yang lain: kalau kita menganggap eks-kawan kita toksik, bukan berarti kita juga tak pernah toksik untuk eks-kawan kita kan? Hati-hati juga overpersonalization: merasa semua adalah salah kita dan kita memang tak layak sebagai kawan untuk dipertahankan. Absolutely no. Bijak saja melihat konteks situasinya dan belajar mengambil tanggung-jawab. Hasil evaluasi dan refleksi ini bisa menjadi guidelines baik bagi kita untuk merawat relasi-relasi pertemanan yang masih awet.

 

5. Tak perlu menyangkal kenangan-kenangan baik dengan ex-kawan yang hadir di masa lalu.

Kenangan baik tetaplah kenangan baik. Jangan dicampur aduk. Bagaimanapun, saya yakin bahwa ada kalanya kita menikmati masa-masa yang menyenangkan bersama eks-kawan kita di masa lalu. Mengalami friendship break-up di masa kini bukan berarti masa-masa menyenangkan di masa lalu tidak pernah terjadi atau eks-kawan kita tidak pernah baik pada kita. Kenang saja hal-hal baik itu sebagai bagian yang baik di masa lalu, selepas dan terpisah dari fakta bahwa sekarang pertemanan sudah tak terjalin lagi.

 

6. Mengapresiasi relasi-relasi pertemanan yang masih awet & manjang saat ini.

Kehilangan bisa mengingatkan kita untuk mengapresiasi kawan-kawan kita yang masih loyal bersama-sama kita. Kita perlu mengapresiasi dan merawat pula relasi-relasi pertemanan yang masih awet saat ini. Gak lagi taken for granted. They are a valuable gift indeed.

 

7. Tetap membuka diri pada relasi-relasi pertemanan baru.

Tapi, bukan sebagai pelarian atau pembuktian ‘gue bisa kok dapat teman baru yang lebih baik dari lo.’ Kita tidak perlu seperti itu, tidak sehat juga bagi jiwa. Beberapa kawan yang pernah saya kenal juga cenderung pesimistik-skeptik terhadap relasi-relasi pertemanan baru karena pengalaman buruk soal pertemanan di masa lalu. Ini membuat mereka memasang tembok terlalu tinggi dan menutup kemungkinan-kemungkinan berjumpa dengan teman yang lebih baik. Sebaliknya, kita perlu bersikap netral terhadap relasi-relasi baru: tidak terlalu optimis, tidak terlalu pesimistik. Mengalami friendship break-up satu atau beberapa kali bukan berarti kita akan terus mengalami friendship break-up seumur hidup kan?

 

8. Akhirnya, perlu usaha dua arah yang berkesinambungan untuk merawat relasi pertemanan.

Bukan hanya pacaran aja lho yang perlu komunikasi kontinu, tetapi pada dasarnya segala jenis relasi di muka bumi. Relasi pertemanan juga perlu dirawat, termasuk dengan komunikasi yang kontinu baik. Di era teknologi komunikasi yang sanggup mendekatkan-yang-jauh seperti saat ini, merawat relasi pertemanan semudah secara berkala mengirim chat dan bertukar kabar kok (gak perlu seribet mengantor surat ke kantor pos atau mengirimkannya lewat burung merpati). Namun, di dunia serba online saat ini, hati-hati juga dengan ignorance—people are more sensitive. Apalagi jika pengabaian itu berulang dan jadi habit. Bukan karena menjangkau kawan semudah mengirimkan chat di WhatsApp yang bisa dilakukan kapan saja dalam 24 jam, maka kita bisa semena-mena untuk mengabaikan. Saya ingat saya dan kawan saya pernah saling berkeluh kesah tentang kawan yang sering sekali mengabaikan chat kami—jujur saja, kami jadi enggan untuk menjangkau kawan kami itu lagi via chat karena enggan untuk diabaikan. Merawat relasi pertemanan juga bisa dilakukan dalam cara-cara lainnya: mengingat ulang tahun dan mengirim kado, merespon Instastory atau WhatsApp status update, sampai meluangkan waktu untuk quality time dalam pertemuan offline.

 

9. A kind reminder: Friendship is not everything.

In the end, we must be ready to embrace loneliness & be independent. Saya menuliskan poin ke-9 ini tanpa bermaksud untuk skeptik-pesimistik, tapi berusaha bersikap realistik. Pertemanan dan persahabatan kita awet sampe tua-renta pun, pada akhirnya akan ada yang meninggal lebih dulu dan ada yang tertinggal menjadi sendirian.  Akan ada masanya kita sendirian tanpa kawan. Karena itu, kita perlu menyadari bahwa penting juga untuk belajar menjadi kawan baik bagi diri sendiri.

 

Satu lagi poin penting yang ingin saya tambahkan secara terpisah: relasi-relasi pertemanan yang terjalin dalam komunitas spiritual tidak menjamin bahwa relasi kita bakalan awet dan manjang. Kawan-kawan kita yang tampaknya spiritual itu juga manusia biasa, please manage our expectations. Akhirnya, saya merenungi, kedalaman relasi lebih penting dari keterlibatan faktor spiritualitas dalam relasi: yang sampai sekarang awet dan manjang bersama-sama saya dominannya justru kawan-kawan saya sejak remaja yang menjalin relasi tanpa embel-embel spiritualitas. Justru banyak kawan-kawan dari komunitas spiritual yang akhirnya melupakan satu sama lain. Bukan saya saja yang mengalami. Saya kembali pada teori sosiologi saja ah, pada akhirnya komunitas spiritual (atau bahkan gereja) hanyalah salah satu jenis dari kelompok sosial—seringkali, tiada beda yang terlampau jauh dengan kelompok-kelompok sosial yang lain, apalagi secara naturnya.

 

 

Jadi, semoga dapat melalui realita putusnya pertemanan dan semoga tidak lupa juga untuk merawat dan mengapresiasi relasi-relasi pertemanan yang masih awet dan manjang.

 

Kata-kata ini saya ucapkan untuk diri sendiri. :’)


2 comments:

  1. kan tulisannya bagus banget dan bener - bener relate!! aku juga begitu dan rasanya sedih banget. karna kan kita selalu senang2 dan merayakan hal - hal yang menyenagkan eh tapi skrang udah nggak pernah ketemu dan cerita lagi. life must go on and people come and go. jadi mau nggak mau harus terima kenyataannya! haha. syedih tapi mau gimana lagi xd

    ReplyDelete
  2. Setuju banget dengan artikelnya.. aku dulu juga pernah mengalami frindship-break dengan teman. Pelajaran yang aku ambil adalah pentingnya komunikasi dan selalu mengingat bahwa pertemanan itu adalah antara 2 orang atau lebih yang berkontribusi untuk juga menjaga pertemanan tersebut. Jadi kalau aku sudah ngga ada effort dari teman tersebut, ya sudah move on.. dari pada malah sedih dan berekspektasi. But friendship-break up is suck indeed 🙃

    ReplyDelete

Powered by Blogger.