(Hanya) Satu Resolusi Saya Untuk 2019
Untuk 2019 ini, saya hanya punya satu resolusi. Satu saja
cukup. Di tengah keengganan saya untuk merenung, merumuskan, dan menuliskan
resolusi tahun baru, saya pikir satu resolusi ini memang sangat perlu dan
sangat penting saya kejar tahun ini. Apa itu?
Photo by Jon Tyson on Unsplash |
(Hanya) satu resolusi saya untuk 2019 : Lebih banyak mengambil foto &
mendokumentasikan momen-momen berkesan yang dijalani, mengarsipkannya dengan baik
secara personal untuk mengenang momen-momen itu, tapi lebih sedikit
mempublikasikannya di media sosial.
Saya akan menjelaskan
bertahap dalam tulisan (yang cukup panjang) ini, sekaligus menjadi ruang saya
berefleksi. Resolusi saya berawal dari hasil pengamatan personal di masa liburan ini.
1. Berawal Dari Rasa Lelah Scrolling Timeline Media Sosial
Menjelang akhir tahun dan
menyambut awal tahun baru, hal yang lumrah, media sosial sangat ramai akan
segala. Foto-video liburan, foto-video natalan, foto-video tahun baruan. Timeline yang penuh dengan update orang-orang, setiap orang dengan
kehidupannya masing-masing. Sesuatu yang kali ini rasanya sangat nano-nano bagi saya. Membuat saya banyak
merenung dan berpikir, ketika juga (harus diakui) cukup exhausted dengan keramaian ceriwis cerita orang-orang di media
online ini.
Photo by Tim Bennett on Unsplash |
Bagaimana tidak? Salah
satu media sosial yang masih saya
buka belakangan, Facebook, memang menghubungkan saya dengan begitu banyak orang
(teman, keluarga, kenalan—1.600 orang yang semuanya saya kenal) dari berbagai
latar belakang. Dari yang usianya masih anak-anak seperti ponakan saya, sampai
yang usianya sudah lansia seperti bou (tante) saya. Dari yang berasal dan berdomisili
di Jabodetabek, sampai berbagai provinsi dan pelosok Indonesia—pun mancanegara.
Dari berbagai latar belakang pendidikan, kesukaan, perhatian, pekerjaan,
kesibukan. Agama, suku, kelompok. Dari segala kelompok sosial-ekonomi juga. Yang berarti segala jenis update
media sosial.
Exhausted?
Ya, harus diakui, kadangkala iya. Ini tidak lagi soal social comparison, seperti yang klise kita alami: kita melihat update orang lain yang waw dan
membandingkannya dengan hidup sendiri yang masih terasa biasa saja. Saya sudah mulai belajar ikut merayakan momen
bahagia orang lain bersama update mereka
di media sosial. Tapi, ini tentang terlalu
banyak informasi yang masuk ke kepala. Media sosial memiliki kemampuan
untuk membuka sekat-sekat ranah privat menjadi konsumsi publik. Pun tentang
mengejar viralitas. Akui saja, hampir
semua orang ingin menjadi viral dan diakui eksistensinya di dunia maya saat
ini.
Photo by Tyler Delgado on Unsplash |
Di sisi lain, khususnya
untuk update di masa-masa liburan
akhir tahun ini dengan keragaman teman di media sosial, saya menemukan realita
sosial yang lain lagi. Bahwa, kesenjangan sosial itu nyata. Misalkan, ketika di timeline
yang sama, memperingati tahun baru yang sama, seorang kawan update foto tentang momen tahun
baruannya yang mewah dan seru, sekeluarga dalam liburan di Jepang—ketika seorang
kawan yang lain update foto tentang
momen tahun baruannya yang sangat sederhana, di rumahnya yang sederhana, di
kampungnya yang sederhana. Saya masih lega mereka sama-sama tampak bahagia di
momen dan kondisinya masing-masing. Ya, defenisi kebahagiaan mah relatif ya.
Tapi, kesenjangan sosial-ekonomi, tetap tak bisa disangkal kan?
Ada juga post yang lain
lagi di momen natal kemarin. Di tengah timeline media sosial yang penuh foto wefie sekeluarga di depan pohon natal (salah
satu jenis post yang menurut
pengamatan saya nge-trend di tahun
ini) atau di gereja, ada beberapa teman saya yang mempublikasi berita duka, karena kehilangan ayah
atau ibunya yang meninggal (ada juga satu-dua orang yang update dengan foto yang cukup tidak nyaman bagi saya karena
menampilkan kondisi gawat di ruang ICU, yang setahu saya sebenarnya tidak boleh
mengambil foto disana). Maksud saya, ini cukup ekstrim berbeda: ketika di dalam
momen yang sama, ada yang bisa tertawa bahagia karena berkumpul sekeluarga, ada
juga yang sedang berduka karena kehilangan salah satu anggota keluarga.
Keduanya, terpampang jelas, dalam timeline
media sosial. Saya merasa nyes di
dalam hati. Tentu saja, saya tidak menyalahkan yang update foto bahagia sekeluarga, ataupun yang update berita duka. Saya hanya jadi berpikir bahwa sangat banyak
informasi momen hidup orang lain yang masuk ke dalam kepala saya. Saya senang
dan sedih bersamaan bersama mereka—dilematis—rasanya
terlalu penuh. Exhausted, enough.
2. Dilanjutkan Dengan Memaknai Ulang “Foto” Dalam
Trend Media Sosial
Saya ingat kali pertama
saya berkenalan dengan ponsel berkamera dan media sosial. Waktu itu, usia saya
masih remaja, belasan tahun. Awal tahun 2000 di Indonesia. Saya, tentu saja
merasa hal ini baru dan menarik. Apalagi, saya senang mendokumentasi momen
untuk dikenang nanti-nanti. Sebagaimana memang awalnya kamera dan foto
diciptakan untuk itu. Ponsel berkamera memudahkan. Dan media sosial? Waktu itu
belum se-booming sekarang. Konsumsi komputer,
(laptop), dan internet juga belum se-waw sekarang. Ya, ya, saya juga sempat se-alay itu dengan update foto selfie
dengan-gaya-gak-beda-beda-amat-satu-sama-lainnya secara massal ke Friendster dan
Facebook (haha, sungguh aib). Tapi saya ingat yang paling menarik dari Facebook
adalah ketika ia memampukan kita mengunggah foto secara online, men-tag
teman-teman kita yang ada dalam foto yang sama, dan voila! Tidak usah
repot-repot lagi harus kirim via bluetooth
atau bahkan copy-paste di
komputer dengan pinjam-pinjaman flashdisk
(maklum, belum era laptop).
Photo by Josh Rose on Unsplash |
Sekarang? Saya merasa ada yang bergeser. Orang tidak lagi sekedar mendokumentasi momen, tapi juga mengejar viralitas, pencitraan baik, dan estetika konten, dengan kehadiran ponsel berkamera yang semakin canggih dan media sosial yang semakin upgraded. Tingkat ke-instagrammable-an. Tentu, bukan sesuatu yang jelek juga. Meskipun, ya, jadi lebih banyak sentuhan tambahan dalam foto yang tidak lagi se-pure seharusnya, jadi lebih artifisial. Atau kadang, jadi lebih fokus kepada membuat konten foto instagrammable, dibandingkan momennya.
Atau, beda lagi dengan
adanya Instastory dan sejenisnya? Ini harus saya akui, sempat saya alami juga. Update 24-jam-kemudian-hilang yang mengejar
publikasi momen real time. Nongkrong
bareng kawan sepertinya tidak lengkap kalau belum di-Instastory. Baru beli baju
baru sepertinya belum kece kalau belum di-Instastory. Makan makanan enak
sepertinya belum kenyang kalau belum di-Instastory. Dan seterusnya. Momen
sehari-hari yang biasa saja bisa jadi dipublikasi rutin semuanya—yes, ranah privat menjadi konsumsi publik. Tadinya
gak harus banyak orang yang tahu pagi ini kita sarapan bubur ayam (makan bubur
ayam di pagi hari itu biasa di Indonesia)—tapi gegara Instastory, supaya update kekinian sis, semua orang jadi tahu pagi ini kita sarapan bubur ayam.
Menarik?
Termasuk, untuk foto-foto
yang secara ethical sebenarnya bermasalah.
Seperti foto ruangan ICU tadi. Atau foto kekerasan terhadap binatang yang tidak
pakai filter atau warning, yang tentu
membuat viewers tidak nyaman. Tanpa
keterpaparan pengetahuan seputar ini, kita para netizen bisa saja mem-posting suatu foto demi update—tanpa mempertimbangkan dampak
foto dan sisi ethical. Meskipun,
misalkan, post teman saya yang
menampilkan foto ibunya yang sedang menderita sakit dengan ventilator di
ruangan ICU, sebenarnya ditujukan sebagai alat komunikasi dan informasi tentang
kepergian sang ibu bagi lingkaran sosial terdekatnya—yang pasti jauh lebih
gampang dan ringkas dibanding cara lainnya. Tapi, lagi-lagi, kebutuhan update dengan konten foto, memang bisa
sangat tricky.
Photo by Maria Shanina on Unsplash |
Dampak Instastory ke
momen yang sebenarnya istimewa bagi saya bisa meresahkan. Lagi-lagi, saya alami
juga. Ketemuan lagi dengan kawan yang sudah lama gak ketemu, harusnya ambil
foto yang cakep untuk dokumentasi yang bisa
dikenang sampai nanti-nanti—tapi demi kebutuhan update Instastory (biar kawan-kawan yang lain tahu dong, saya
ketemu si XYZ), kedistraksi untuk sekedar wefie
ceklik berapa kali, melihat hasilnya lumayan oke, update di Instastory, dan foto itu kemudian hanya berakhir disana
selama 24 jam. Ya, kalau cukup instagrammable,
mungkin bisa di-repost ke feed Instagram (sayangnya, kebutuhan angle Instastory yang portrait merupakan salah satu hal yang
kurang pas untuk feed Instagram yang
lebih cakep dengan post yang square). Kalau ingat, mungkin bisa di-back up di laptop atau gdrive. Kalau ingat. Sayangnya, seringkali saya lupa
dan momen serta foto itu hilang berlalu begitu saja. Tidak ada lagi
kenang-kenangan untuk tahun-tahun berikutnya, bahwa ketika itu, saya bertemu
lagi dengan kawan lama saya si XYZ setelah sekian lama. Padahal, siapatahu saya
mungkin tidak akan bertemu lagi dengan si XYZ? Siapatahu.
Saya jadi mempertanyakan
kembali bagaimana saya (dan kita) memaknai foto dalam arus trend media sosial dan ponsel berkamera yang sangat menjamur saat
ini? Rata-rata ponsel yang dipegang orang-orang Indonesia sekarang pasti
berkamera dan punya koneksi internet, meski kualitasnya berbeda-beda. Itu
berarti setiap orang juga bisa mengambil foto dan mengunggahnya ke media
sosial. Termasuk yang sudah berusia lanjut dan yang masih di bawah umur
sekalipun.
Photo by ANGELA FRANKLIN on Unsplash |
Apakah kita hanya
memaknai foto sebagai pertanda bahwa kita tidak ketinggalan zaman? Kita punya
ponsel berkamera juga lho dan update foto
juga lho, selepas bagaimanapun kontennya. Semacam konformitas baru dalam
interaksi sosial di dunia online. Gak ada
foto gak serulah. Atau kita memaknai foto sebagai simbol eksistensi (status
sosial & diri) kita? Bahwa ini lagi natalan dan saya bareng keluarga bergereja
disini lho, ini lagi liburan dan saya pergi ke tempat wisata bagus lho, ini
weekend dan saya nongkrong bareng teman-teman lho. Tidak lagi memaknai foto
sebagai dokumentasi momen berharga yang harus dikenang sampai nanti-nanti. Ya
sudah, cukup 24 jam di Instastory, atau naikin
ke timeline Facebook dapat likes-comments,
dan sekian saja. Saya mengambil foto ini
karena saya ingin mengenang momen ini. Bukan lagi itu. Sekarang, saya mengambil
foto ini karena saya ingin menunjukkan pada lingkaran sosial saya mengenai
momen ini.
Tentu, tidak bisa
digeneralisasi semua begini. Ada juga kok yang masih hobi ngumpulin foto-foto
yang oke dari hasil jepretan smartphone dan
mencetaknya untuk dipajang dalam frame di
rumah. Ada juga yang menggunakan fitur album foto di Facebook sebagai “ganti”
album foto fisik—mengikuti trend
dunia digital, dengan fungsi yang masih sama, untuk mendokumentasi-mengarsip-rapi-dan-mengenang
(termasuk juga Instagram dan Instastory—meskipun tentu saja memakai platform
ini untuk mengarsip punya kelemahana jika
suatu saat platform tersebut bankrut atau tutup seperti Path dan Friendster).
Teman saya ada juga yang benar-benar rapi menamai-mengorganisir album-album fotonya
di Facebook, untuk mendokumentasi pertumbuhan anaknya sedari bayi. Tapi,
kebanyakan ya, tidak seperti itu juga. Kebanyakan ya seperti saya ini, akhirnya
terikut arus update kekinian media
sosial dan lupa, foto adalah salah satu media untuk mengenang momen istimewa,
untuk waktu yang lama.
3. Dan, Merindukan Masa Lalu, Pun Meyayangkan Masa
Kini
Saya merindukan diri saya
yang dulu, yang masih remaja, yang masih seingin itu untuk mendokumentasikan
setiap momen yang istimewa dalam gambar supaya tidak melupakannya,
mengoleksinya dalam arsip yang baik, memilih yang terbaik untuk dicetak dan
dipajang dalam album foto dan frame di
meja-dinding.
Photo by Laura Fuhrman on Unsplash |
Ada satu hal yang paling
saya sesali memang beberapa tahun belakangan ini, selain keterikutan arus update kekinian media sosial tadi:
ketidakrapihan arsip dokumentasi saya. Karena foto-foto dokumentasi ini direkam
oleh tablet, yang sering terlupa
karena terdistraksi ini-dan-itu. Atau mungkin, karena saya tidak lagi merasa
foto-foto dokumentasi ini seistimewa itu
untuk diarsip rapi? Ya, karena memang diambil sekedarnya, demi kebutuhan update
kekinian di Instastory saja. Sedih.
Ini belum ditambah
kenyataan pahit bahwa seluruh memori
tablet saya terhapus ketika pembaharuan sistem secara tidak sengaja, sekitar bulan Mei 2018. Belum diback-up & di-sinkronisasi online sama sekali. Say
forever-bye untuk semua foto dokumentasi, catatan, kontak, data—ya semuanya. Begitu banyak foto bertahun belakangan yang hilang. Gegara
ketidakrapihan arsip dokumentasi.
Saya merindukan mengambil
foto untuk mengabadikan momen, tidak sekedar untuk pembuktian eksistensi
sosial. Saya merindukan ketulusan dan kepolosan setiap gambar dalam foto-foto
momen, tanpa artifisial-terlalu demi standar media sosial yang harus instagrammable. Saya merindukan mengumpulkan
foto-foto dari berbagai momen hidup istimewa dan mencetaknya untuk disatukan
dalam satu frame besar seperti
semacam scrapbook, sebagaimana saya
hobi mengumpulkan-mencetak foto-foto dalam sebuah album besar untuk masa remaja
saya dulu.
4. Pertanyaan Baru : Menantang Diri, “Mengapa
Memangnya Kalau Tidak Update?”
Jadi, berawal dan
berproses dalam semua perenungan dan pemikiran di atas, saya memutuskan untuk
menjalani (hanya) satu resolusi untuk tahun 2019 ini. Fokus, lebih banyak untuk
mendokumentasikan momen dan mengambil foto untuk mengenang momen. Ditambah, lebih sedikit mempublikasikannya
di media sosial. Setelah perenungan sepanjang ini, poin terakhir ini
penting sekali.
Photo by Igor Miske on Unsplash |
Saya ingin menantang
diri, mengapa memangnya kalau tidak
update di media sosial? Apakah eksistensi sosial di kancah dunia online itu
sepenting itu—lebih penting dari
menikmati dan menghargai momen sebagai bagian kehidupan yang perlu dirayakan,
kadangkala tanpa perlu orang lain tahu? Tentu, bebas saja, jika ada orang lain
yang tetap mau merayakan momennya, pun dengan update media sosial selain mendokumentasi baik untuk mengenang
momen. Tapi, saya ingin menantang diri untuk mempertanyakan ulang mana yang
lebih penting dan memilih untuk menjalaninya. Sambil, bergumul untuk tidak ikut-ikutan arus dengan kehilangan alasan mengapa.
Sesekali mungkin, saya
akan update juga. Tapi mungkin dengan tujuan? Misalkan, memposting foto kebersamaan dengan kawan-kawan terdekat
saya di feed Instagram, sebagai salah
satu ungkapan apresiasi & validasi saya akan momen yang telah kami lalui-nikmati
bersama. Sesekali saja. Hehe.
(Hanya) satu resolusi saya untuk 2019 : Lebih banyak mengambil foto &
mendokumentasikan momen-momen berkesan yang dijalani, mengarsipkannya dengan baik
secara personal untuk mengenang momen-momen itu, tapi lebih sedikit
mempublikasikannya di media sosial.
Rencana Konkrit Bulanan : Mengarsip rapi foto-foto di
dalam laptop dan google drive pribadi.
Tujuan Akhir : Membuat frame besar berisi kumpulan
foto semacam scrapbook untuk
momen-momen hidup usia 20-an tahun saya.
Jadi, selamat menjalani
resolusi. Semoga saya bisa menyelesaikannya dengan baik, semoga. Welcome 2019,
semoga lebih banyak momen hidup yang bisa dilalui dan dinikmati, pun
didokumentasi dalam gambar-gambar foto yang akan dikoleksi.
No comments: